UNAIR NEWS – Pemahaman seksualitas yang ada saat ini memiliki sejarah panjang. Dari sejarah di masa lalu terdapat perbedaan sudut pandang mengenai seksualitas di era modern dengan post-modern. Untuk membahas lebih lanjut mengenai seksualitas dalam kebudayaan, pada Minggu (25/6/2023) himpunan mahasiswa Antropologi Universitas Airlangga (UNAIR) Divisi Keilmuan mengadakan kelas teori bertajuk Seksualitas dalam Kebudayaan Manusia: Tinjauan Konsep Postmodernisme Foucault.
Kelas Teori ini berlangsung secara online melalui Zoom dan terbuka untuk umum. Ada dua narasumber hadir yaitu Lintang Wahyusih Nirmala SAnt MA dosen Antropologi Universitas Airlangga dan Dr Suzie Handajani MA dosen Antropologi Universitas Gadjah Mada.
Ada Perubahan
Lintang mengawali materi dengan membahas mengenai seksualitas postmodernisme Foucault. Lintang mengawali materi dengan penjelasan sejarah seksualitas.
“Pada awal abad ke-17 berbicara seksualitas hal yang tidak terlalu dirahasiakan lalu kemudian berubah di era borjuis menjadi terbatas. Obrolan terkait seksualitas adalah hal tabu yang tidak bisa dibawa ke ranah publik. Perubahan ini yang kita rasakan hingga saat ini,” ungkap Lintang.
Lintang mengatakan, perubahan seksualitas yang masyarakat anggap tabu mendapat kritik Foucault. Foucault menyebutkan adanya represi terkait seksualitas. Kaum kapitalis dan borjuis yang mendapat untung sementara rezim menguasai pengetahuan kesenangan dan menopang wacana tentang seksualitas manusia.
“Foucault ini menurut saya dia berusaha mengkritisi mengapa kita menutupi itu dengan tabir menjaga sesuatu atas dasar kesopanan,” jelas Lintang.

Setelah membahas sejarah dan kritik dari Foucault, Lintang melanjutkan bagaimana kemudian seksualitas di Indonesia.
“Kita sebenarnya menyebutkan kata seks dan seksualitas saat ini masih ada anggapan tabu. Sehingga kita bingung mendapatkan pengetahuan seksualitas,” terang Lintang.
Kebaruan Teknologi
Namun demikian, Lintang menjelaskan sudah ada kemajuan di era posmodernisme saat ini. Era ini melekat pada kebaruan teknologi yang semakin canggih memudahkan pemahaman seksualitas.
“Komunitas-komunitas sadar gender memanfaatkan social media sebagai media penyebaran informasi terkait perjuangan kesetaraan hak gender dan sebagai ruang yang nyaman untuk berekspresi menunjukkan identitas orientasi seksual, baik secara anonim maupun tidak,” ungkap Lintang.
Pembahasan berlanjut oleh pemateri kedua yaitu Suzie yang membahas terkait seksualitas dalam percintaan. Suzie menghubungkan materinya dengan materi Lintang sebelumnya.
“Sedikit menyambung salah satu hal yang Foucault kritik adalah mengapa seksualitas harus dipandang hierarki, kenapa gak disebutkan seksualitas itu beragam,” terang Suzie.
Suzie menjelaskan hubungan asmara masyarakat maknai ketika manusia jatuh cinta kemudian melalui ritual. Wacana-wacana yang muncul dalam hubungan asmara merupakan konsep hetero-patriarki yang dilanggengkan.
“Hetero patriarki yang hegemonik langgeng lewat hal-hal yang sederhana dalam sehari-hari, seperti film romansa, dan bacaan. Ketika yang berbeda dari konsep akan dengan mudah ditindas karena tidak sesuai standar ada wacana salah, dosa, dan illegal,” jelas Suzie.
Suzie menjelaskan seksualitas adalah hal yang kultural bagaimana setiap manusia merespons gairah seksualnya dengan budayanya masing-masing. Namun ia mengatakan adanya hetero patriarki saat inilah yang membuat wacana percintaan dimaknai dan menunjukkan hierarki seksualitas standar yang benar seperti apa. (*)
Penulis: Shafa Aulia Ramadhani
Editor: Binti Q. Masruroh