Universitas Airlangga Official Website

Keluarga Disfungsional, Kenali Cara Menghadapinya

Ilustrasi: Freepik

UNAIR NEWS – Setiap keluarga sejatinya berfungsi sebagai tempat perlindungan bagi anggota keluarga. Namun, ada keluarga yang tidak mampu memenuhi fungsi tersebut. Fenomena ini dikenal dengan istilah keluarga disfungsional. Hal itu terjadi manakala keluarga gagal dalam membangun lingkungan yang sehat.

Terkait hal itu, dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR), Tiara Diah Sosialita MPsi Psikolog turut menanggapi. Tiara menjelaskan keluarga secara umum sebagai sekelompok individu terdiri dari dua orang atau lebih yang terikat oleh perkawinan, hubungan darah, atau lainnya. Dalam hal ini, anggota keluarga memiliki status dan peran masing-masing.

Sementara definisi keluarga disfungsional menurut Tiara adalah ketika peran keluarga itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Yakni, keluarga sebagai tempat sosialisasi sekaligus sumber dukungan.

“Keluarga, khususnya orang tua mempunyai peran untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, serta psikis. Pada keluarga disfungsional, anak biasanya tidak mendapat kebutuhan itu secara utuh,” ungkap Tiara via Instagram Live Airlangga Safe Space, Sabtu (19/8/2023).

Ia juga mengilustrasikan keluarga yang semula merupakan tempat aman, justru menjadi ancaman yang bisa memberikan dampak negatif bagi anak. Oleh karena itu, Tiara memberikan tips dalam menghadapi keluarga disfungsional.

Berdamai dengan Keadaan

Pada dasarnya, seorang anak tidak bisa memilih di keluarga mana ia lahir. Sehingga Tiara menyarankan, siapa saja yang pernah mengalami pengalaman buruk dalam keluarga untuk berdamai dengan menerima dan memaafkan kejadian tersebut.

“Luka atau trauma harus selesai lewat cara berdamai dengan diri sendiri. Jangan menyalahkan diri atas perlakuan orang lain—apa yang orang lain lakukan bukan karena kita, melainkan tanggung jawab mereka sendiri,” tutur pakar kesehatan mental remaja itu.

Merawat Kesehatan Mental

Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya menjaga kesehatan mental bagi seseorang yang menjalani hidup dalam keluarga disfungsional. Caranya yaitu melakukan negosiasi dengan seluruh anggota keluarga perihal masalah yang dihadapi.

“Secara praktis, kita bisa mengomunikasikan hal-hal yang kita rasakan. Alternatif lain, minta bantuan pada kerabat atau orang yang dipercaya sebagai pihak penengah,” ujar Tiara.

Ia juga mengatakan, kendati upaya itu tidak membuahkan hasil, maka dapat menetapkan batasan (boundaries). “Ketika sudah proaktif namun belum ada perubahan, kita bisa mengambil tindakan dengan menjaga jarak,” imbuhnya.

Memutuskan Hubungan yang Tidak Sehat

Sikap terakhir dalam menghadapi keluarga disfungsional kata Tiara adalah keluar dari lingkungan toksik tersebut. Namun, tentunya pengambilan keputusan ini harus berdasarkan pertimbangan tertentu.

Tidak dapat dipungkiri bahwa isu keluarga menjadi pembahasan yang sensitif. Sehingga ia mendorong orang yang memiliki masalah terkait untuk mencari dukungan baik melalui komunitas atau konsultasi dengan psikolog.

“Di mana pun kita menghadapi ketidaknyamanan akibat lingkungan negatif, termasuk keluarga. Kuncinya adalah menjaga kesehatan mental kita dulu, baru mengupayakan solusi-solusi jangka panjang yang lain,” tutupnya.

Penulis: Sela Septi Dwi Arista

Editor: Nuri Hermawan