UNAIR NEWS – Kematian merupakan hal yang tidak dapat dihindari bagi seluruh makhluk hidup, tak terkecuali manusia. Kematian yang merupakan salah satu jalan kehidupan, salah satu cara dalam menghormati kematian adalah dengan melakukan upacara kematian. Museum Etnografi atau yang lebih dikenal dengan Museum Kematian Universitas Airlangga adakan acara “Night at The Museum” seri ketujuh yang membahas tentang menghormati kematian dari dua perspektif budaya, yakni budaya Tengger – Ngadiwono dan budaya Tionghoa.
Acara yang diadakan pada Kamis (16/11/2023) via Zoom itu mengundang Romo Dukun Pandita Puja Pramana, tetua desa Ngadiwono dalam menjelaskan upacara kematian Entas-Entas. Hadir pula Olivia SE MA, Dosen sastra Mandarin Universitas Kristen Petra untuk menjelaskan cara masyarakat Tionghoa menghormati kematian, yakni Ceng Beng.
Upacara Kematian Entas-Entas
Dalam masyarakat Tengger, kematian terbagi menjadi tiga macam yakni pati, salah pati, dan ulah pati. Pati berarti kematian secara wajar seperti faktor umur dan penyakit. Salah pati berarti kematian yang tidak wajar seperti kecelakaan, pembunuhan, dan lainnya. Lalu Ulah pati yang berarti kematian yang disebabkan karena diri sendiri (bunuh diri).
Selain itu, masyarakat Tengger juga mempercayai adanya reinkarnasi atau hidup kembali dari awal. Hal itu Romo Puja jelaskan melalui hukum Karmapala yang terbagi menjadi tiga, yakni Prarabda Karmapala, Kriyamana Karmapala, dan Sancinta Karmapala. Prarabda Karmapala dimaknai sebagai segala tindakan baik buruk akan dibalas pada saat itu juga atau saat di dunia. Lalu Kriyamana Karmapala dimaknai sebagai segala tindakan baik buruk dibalas saat kematian di alam kelanggengan.
“Sancita Karmapala adalah semua perbuatan yang kita lakukan, hasilnya akan kita terima suatu saat nanti ketika reinkarnasi atau terlahir kembali,” jelasnya.
Setelah dikuburkan, ada dua upacara yang harus dilalui agar roh dapat pergi ke alam kelanggengan. Upacara Telung Dina adalah tahap awal yang bertujuan agar roh bisa tenang di alam roh. Setelah itu, upacara tujuh hari atau Ngracut dilaksanakan untuk mencapai tiga tujuan. Tujuan pertama adalah mengembalikan lima unsur alam (panca maha bhuta), yakni unsur cahaya, air, udara, padat, dan ruang. Tujuan kedua adalah pemegat atma atau supaya roh tidak terikat lagi dengan tubuh dan duniawi.
“Dan yang ketiga, mendoakan mendapatkan dalang padang, papan jembar atau jalan yang terang dan tempat yang luas.” tambah Romo Puja.
Kemudian ada upacara Entas-Entas, upacara yang bertujuan untuk memperjelas status roh dan dilaksanakan bagi yang mampu saja. Upacara ini dilakukan selama tiga tahap yang masing-masing tahapannya bernama mepek, prepekan, dan bawahan. Pada tahap mepek, roh diturunkan (rakantawang) dan diberi tahu (isen-isen) bahwa upacara akan dimulai. Pada tahap prepekan, penyembelihan hewan dan pengundangan roh (nurunen) ke rumah keluarga. Dan pada tahap bawahan, roh diundang ke tempat upacara lalu membersihkan tempat upacara (kayopan agung), diakhiri dengan penyucian roh (kayopan lukatan).

Ceng Beng, Menghargai Kematian ala Etnis Tionghoa
Tradisi menghormati kematian ala etnis Tionghoa telah mengalami berbagai perubahan sejak dinasti Zhou yang awalnya berupa cold food festival atau hanya boleh memakan makanan dingin, hingga sekarang yang lebih dikenal sebagai festival Qingming yang merupakan mengunjungi kuburan nenek moyang pada hari Qingming.
Olivia turut menjelaskan berbagai tradisi dan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat etnis Tionghoa mulai dari membersihkan makam, bertamasya, menanam pohon, tarik tambang, bermain layangan, bermain ayunan, adu ayam, hingga bermain sepak bola. Hal-hal tersebut dilakukan dilatarbelakangi oleh kondisi musim saat festival Qingming, yakni musim semi.
Bertamasya saat masa festival Qingming dipercaya dapat menghilangkan depresi dengan melihat berbagai pemandangan. “Masyarakat dulu percaya bahwa jika ada yang sakit, mereka dapat menulis atau menggambar penyakitnya pada layangan yang diterbangkan. Setelah itu diputus, dengan begitu semua hal buruk termasuk penyakit itu pergi menjauh bersama layangan tadi,” jelasnya.
Ayunan juga menjadi simbol dalam festival Qingming karena pada zaman dahulu tepatnya pada dinasti Tang, ayunan dapat terlihat dimana saja. Maka festival Qingming ditetapkan menjadi festival Ayunan.
“Kebudayaan itu berubah dan berjalan seiring dengan zaman. Satu hal yang dipertahankan dari Ceng Beng adalah mengajarkan pada tiap generasi untuk tidak melupakan apa yang telah pergi, untuk tetap mengingat yang meninggal dunia,” tutupnya. (*)
Penulis: Muhammad Naqsya Riwansia
Editor: Feri Fenoria