Universitas Airlangga Official Website

Keragaman Bangsa Itu Keagungan Ciptaan Tuhan

Almarhum Prof Nurcholis Madjid (Cak Nurcholis) pernah mengatakan bahwa mencintai dan mengagungkan Allah itu bisa lewat mencintai keagungan ciptaan Allah, salah satunya bahasa dan warna kulit semua bangsa-bangsa di dunia. Pendapat Cak Nurcholis berdasarkan Firman Allah di Al Qur’an yaitu:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui”. (Al Quran surah Ar Rum ayat 22)

Substansi dari firman Allah SWT di atas adalah bahwa keragaman yang ada di muka bumi ini adalah tanda-tanda keagungan dan kekuasaan Allah.

Bagi kita di Indonesia, keagungan ciptaan Allah yang beragam itu dengan kasat mata kita saksikan dan kita alami sehari-hari. Selain diversitas sumber daya alam kita juga punya bahasa yang beragam. Masyarakat dunia mengetahui bahwa Indonesia ini memiliki ratusan suku dan ratusan bahasa daerah selain bahasa nasional Indonesia. Sangat mengagumkan keragaman bahasa daerah karena dalam wilayah yang berdekatan saja kita saksikan keragaman.

Saya ambil contoh daerah saya Jawa Timur saja. Saya asli Surabaya yang berbahasa daerah straight forward, langsung tanpa adanya social hierarchy atau tingkatan sosial. Ketika menuju tetangga dekat di Sidoarjo yang hanya berjarak 25 km, karakter bahasanya sama tapi ada istilah yang berbeda. Kemudian, menuju ke selatan ke wilayah Malang dan sekitarnya. Bahasa daerahnya sama dengan yang di Surabaya tapi intonasinya sudah berbeda. Di Malang kita saksikan ada tambahan huruf ‘a’ di belakang suatu kata tanya. Misalnya kata ‘iyo’ menjadi ‘iyoa’.

Selain itu, panggilan untuk orang laki-laki di Surabaya adalah ‘cak’. Di daerah sekitar Surabaya sudah berubah menjadi ‘guk’. Menuju daerah selatan – barat yaitu daerah Mataraman, kita saksikan pemakaian bahasa daerah yang lebih halus. Bahkan, di daerah Mataraman kita bisa melihat perbedaan bahasa. Misalkan di beberapa kabupaten di daerah ini orang mengatakan ‘durung’ (belum) itu  dengan kata ‘gung’. Di daerah Pulau Madura di kabupaten yang bertetangga orang mengatakan ‘tidak’ dengan kata ‘tak’. Sementara tetangga daerahnya mengatakan ‘lok’.

Selain bahasa yang beragam, kita juga menyaksikan kekayaan jenis makanan yang sama tapi berbeda-beda di satu tempat dan tempat lainnya. Misalkan sama-sama makanan pecel, namun ada pecel Madiun, pecel Blitar, pecel Ponorogo, pecel Kediri. Makanan khas Surabaya rawon juga berbeda di beberapa kota di luar Surabaya. Sementara soto Madura hanya kita temui di Kota Surabaya dan tidak di pulau Madura sendiri.

Itu semua contoh di daerah Jawa Timur saja. Di tetangga propinsi Jatim yaitu Jawa Tengah kita jumpai perbedaan bahasa daerah. Meskipun sama-sama bahasa Jawa yang halus namun istilah dan intonasinya beragam. Bahasa Jawa Solo intonasinya berbeda dengan bahasa Jawa Yogyakarta. Demikian juga soal keragaman makanannya. Belum lagi propinsi-propinsi lain di Nusantara ini kita temui kekayaan keragaman bangsa baik dari segi biodiversitasnya, bahasa, maupun makanannya.

Di luar negeri pun kita juga menyaksikan ciptaan Allah berupa keragaman bahasa itu. Misalkan sesama bahasa Inggris diucapkan berbeda-beda di Inggris, Amerika, Kanada, Australia, Afrika Selatan, Singapura, Malaysia, dan sebagainya. Di Singapura bahasa Inggrisnya dikenal dengan sebutan singlish atau Singaporean English yaitu bahasa Inggris dengan logat Cina antara lain dengan menambahkan ‘la’ di belakang kata. Misalkan ‘take it easy’ menjadi ‘take it easy lah’, ‘come on lah’, dan sebagainya. Bahkan di Inggris pun sangat mencolok perbedaan itu. Di London ada aksen yang disebut Cockney, lalu pindah ke wilayah lain kita jumpai bahasa Inggris khas Wales, Skotlandia, dan Irlandia.

Perguruan Tinggi seperti Universitas Airlangga (UNAIR) adalah salah satu lembaga pendidikan di negeri ini yang memiliki tugas menjaga mozaik keragaman yang ada di Indonesia. Kalau kita menyitir pendapat Prof Nurcholis Madjid di atas, maka itu bermakna bahwa apabila kita ingin mencintai Allah maka kita harus mencintai keagungan ciptaan-Nya, antara lain keragaman yang ada di Tanah Air ini. Sehingga, mencintai Tanah Air dan melestarikan keragaman itu juga berarti kita mencintai Tuhan Yang Maha Esa. (*)