UNAIR NEWS – Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA) merupakan salah satu program pemerintah yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa belajar selama satu semester di kampus luar negeri. Menjadi peserta IISMA menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Demikian dengan Ni Made Prami Dewanggi, mahasiswa Fakultas Psikologi (FPsi), Universitas Airlangga (UNAIR). Melalui IISMA, Gia sapaan karibnya, berkesempatan mengikuti study outbound di University of California, Davis, disebut juga dengan UC Davis, Amerika Serikat. Mahasiswa Psikologi UNAIR itu telah memulai perkuliahan sejak 7 Agustus 2023 lalu dan akan berlangsung hingga Desember mendatang.
Sistem Belajar Variatif
Pada dua bulan pertama, salah kegiatan yang Gia ikuti adaah student orientation yang digelar oleh International Office UC Davis untuk menyambut mahasiswa internasional yang baru. Kegiatan tersebut dikemas menjadi sangat menyenangkan dengan memberikan games dan pizza party.
Gia mengungkapkan bahwa kampus tujuannya memiliki sistem belajar yang bervariasi. Terlebih, membaca buku referensi cukup ditekankan di sini, karena menjadi rujukan dalam pengerjaan midterm, final exam, dan quiz.
“Sebagian besar adalah lecture session, di mana dosen memberikan materi sesuai dengan kontrak perkuliahan. Bentuk-bentuk sistem belajar yang lain adalah seperti tugas kelompok. Biasanya, dalam satu quarter (6-10 minggu) terdapat ujian-ujian seperti midterm, final exam dan juga quiz yang materinya berasal dari buku referensi,” ujarnya.
Yang berbeda dengan sistem edukasi di Indonesia, lanjut Gia, terdapat sistem office hour atau sesi tambahan selama satu jam yang dosen sediakan. Sesi tambahan itu jika siswa ingin penjelasan lebih lanjut terkait materi secara lebih privat.
Dari seluruh mata kuliah, cognitive neuroscience adalah mata kuliah yang paling berkesan karena sistem pembelajaran yang fleksibel, dimana mahasiswa tidak diwajibkan mengikuti perkuliahan. Terlebih, Sean Noah PhD selaku dosen pengampu, membagikan donat di akhir kelas sebagai ungkapan terima kasih atas kehadiran mahasiswa.
“Setelah final exam mata kuliah ini, saya menangis terharu di luar kelas karena rasa sedih harus menyelesaikan mata kuliah ini. Saya merasa, mata kuliah cognitive neuroscience dan Bapak Sean Noah telah memberikan dampak yang besar di hidup saya,” tutur Gia.
Menjadi Asisten Riset dan Perluas Relasi
Gia mengungkapkan bahwa ia memilih UC Davis sebagai host university karena kampus tersebut merupakan salah satu kampus terkemuka di Amerika. Sehingga hal tersebut memungkinkannya untuk berkembang secara individu.
“Selain itu, memilih salah satu kampus yang berada di Amerika Serikat akan membuat perspektif saya lebih terbuka tentang bagaimana salah satu negara yang memiliki universitas terkemuka menjalankan proses edukasi. Berada di Amerika Serikat, saya juga ingin belajar banyak tentang bisnis karena Amerika Serikat merupakan negara yang banyak perusahaan-perusahaan terkemuka lahir,” ungkap Gia.
“Terakhir, alasan saya memilih UC Davis adalah Go Big or Go Home. Saya merasa, jika saya memiliki kesempatan untuk mendapat beasiswa belajar ke luar negeri, saya harus pergi sejauh yang saya bisa untuk menyerap ilmu sebanyak yang saya bisa dan kembali ke Indonesia untuk memberikan manfaat kepada masyarakat,” imbuh Gia pada sesi wawancara dengan UNAIR NEWS.
Selama studi Gia mendapatkan kesempatan untuk menjadi research assistant di salah satu lab cognitive neuroscience, luck lab. Dimana bidang itu belum pernah dikembangkan di Indonesia.
“UC Davis memiliki fasilitas yang lengkap untuk menunjang penelitian di bidang cognitive neuroscience. Sehingga, dengan menjadi research assistant, saya bisa belajar hal-hal yang saya tidak bisa pelajari di Indonesia, seperti cara mengoperasionalkan EEG,” tutur mahasiswa FPsi UNAIR itu.
Tidak hanya itu, Gia juga kerap mendapatkan pengetahuan baru terkait budaya, sistem edukasi, dan sistem sosial di negara Amerika Serikat dan bagaimana hal tersebut dapat membentuk masyarakat dengan karakteristik yang berbeda dari Indonesia.
“Saya mendapat banyak sekali teman-teman baru dari banyak negara yang berbeda, Jepang, India, Amerika Serikat, dan masih banyak lagi. Teman-teman tersebut bukan hanya murid yang belajar di UC Davis. Namun juga staf dan pengajar yang bekerja di UC Davis,” tambahnya.
Culture Shock Positif
Pada awal menapaki Davis, Gia mengalami culture shock dengan mobilisasi kota ini yang ramah lingkungan dan menghormati para pejalan kaki. Selain itu, Gia cukup kaget dengan porsi makanan yang cukup besar.
“Adaptasi terhadap culture shock bukanlah hal yang sulit menurut saya. Karena menurut peribahasa, dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Saya harus bisa mengesampingkan budaya asli saya dan berusaha mempelajari budaya di Amerika Serikat,” curah Gia.
“Setelah saya sudah mendapat gambaran besar terhadap budaya di sini, saya berusaha mengasimilasi kedua budaya tersebut di kehidupan saya selama saya menjadi exchange student,” imbuh mahasiswa Psikologi UNAIR itu.
Melalui program IISMA, Gia berharap semua pengetahuan dan informasi yang ia peroleh dapat memberikan dampak bagi Indonesia.
“Saya ingin membagikan ilmu-ilmu yang saya dapatkan kepada orang-orang yang belum memiliki kesempatan yang sama dengan saya. Selain itu, pengalaman exchange ini akan saya gunakan sebagai pondasi utama untuk berkontribusi kepada negara. Seperti memajukan bidang cognitive neuroscience di Indonesia,” pungkas Gia pada akhir sesi wawancara. (*)
Penulis: Aidatul Fitriyah
Editor: Binti Q Masruroh