UNAIR NEWS – Populasi ternak yang terus menurun berimbas pada kelangkaan daging. Menurut data yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Peternakan, pada jenis sapi potong tahun 2012, populasi mencapai 15 juta ekor, sedangkan pada tahun 2014, populasi menurun pada angka 14 juta ekor. Pada jenis sapi perah populasi mencapai 612ribu ekor, sedangkan pada tahun 2014, sapi perah di Indonesia hanya 503ribu ekor.
Produksi daging sapi di Indonesia beberapa tahun terakhir masih bersumber dari tiga daerah yang menjadi lumbung ternak nasional, yakni Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 2011, peternak Jatim menjadi produsen daging sapi mencapai sekitar 4,73 juta ekor, selanjutnya diikuti oleh Jateng 1,94 juta ekor, dan Sulsel 983ribu ekor.
Ketidakmampuan produksi nasional dalam mencapai kebutuhan daging sapi di Indonesia mengakibatkan pemerintah sampai saat ini masih melakukan impor daging sapi dari beberapa negara. Tentu saja hal ini menjadi semacam indikasi bahwa produksi daging sapi masih belum sesuai sasaran.
Pernyataan itu disampaikan oleh Prof. Dr. I Komang Wiarsa Sardjana, drh, selaku Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Dalam pengukuhan guru besarnya pada Sabtu (27/8), Prof. Komang menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Menuju Swasembada Daging di Indonesia dengan Tes Progesteron Paper Strip”.
Berawal dari problema di lapangan, cara tepat untuk memperbaiki proses reproduksi bagi ternak ruminansia (memamah biak) termasuk sapi, adalah memperbaiki manajemen pemberian pakan, dan manajemen perkawinan.
“Upaya yang dapat dilakukan dalam memperbaiki sistem peternakan di Indonesia, khususnya dilakukan untuk mencapai target selang kelahiran 12 bulan, adalah dengan cara mengetahui adanya kebuntingan secara dini kepada ternak setelah perkawinan. Diagnosa kebuntingan dini diperlukan setelah perkawinan untuk identifikasi lebih awal dari ternak yang tidak bunting, sehingga kehilangan waktu produksi sebagai akibat kemajiran ternak dapat dikurangi,” tutur Prof. Komang.
Gagasan yang disampaikan Prof. Komang adalah dengan menganalisis hormon progesteron dengan kit diagnostik untuk menguji kebuntingan dini pada ternak. Progesteron paper strip bisa dilaksanakan oleh peternak karena sifatnya sederhana, seperti halnya tes kehamilan pada perempuan.
Sebelumnya, telah ada metode bernama Radio Immune Assay (RIA) dan Enzyme Immuno Assay (EIA). Pada metode RIA, manusia perlu berhati-hati karena mengandung bahan radioaktif dan harganya relatif mahal. Begitu pula dengan metode EIA.
Sedangkan, pada kit Progesteron paper strip tidak memiliki risiko bahaya terhadap manusia dan bisa diterapkan oleh para peternak. Ke depan, ia berharap ada sinergi triple helix (akademisi, industri, dan pemerintah) untuk bisa memproduksi massal produk progesteron paper strip itu. (*)
Penulis : Defrina Sukma S.
Editor : Binti Q. Masruroh