UNAIR NEWS – Gejala kuning pada bayi atau disebut hiperbilirubinemia merupakan gejala klinis yang dialami bayi baru lahir. Pemicunya beragam, salah satunya disebabkan karena perbedaan golongan darah antara ibu dengan bayi yang dikandungnya. Lantas bagaimana dengan si calon ibu yang bergolongan darah O?
Karakter golongan darah O dikenal tidak mau ‘berkawan’ dengan golongan darah lain. Sifat ini pun terbawa ketika seorang perempuan bergolongan darah O sedang mengandung. Karena menolak golongan darah lain, akibatnya selama proses kehamilan terjadi yang namanya reaksi antigen dengan janin apabila diketahui bergolongan darah non O. Kondisi ini tentu saja mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah bilirubin pada bayi.
Ketua Unit Koordinasi Kerja (UKK) II IDAI Dr Toto Wisnu Hendrarto, dr., SpA(K) mengatakan, proses peningkatan bilirubin pada bayi dapat disebabkan karena perbedaan golongan darah antara bayi dengan ibunya. Dari sekian jenis golongan darah, perempuan bergolongan darah O paling beresiko melahirkan bayi dengan hiperbilirubinemia level akut.
Toto menjelaskan, selama proses kehamilan, darah ibu mentransfer nutrisi dan oksigen untuk bayi melalui tali pusar. Jika terjadi perbedaan golongan darah antara ibu dengan janin yang dikandung, maka darah ibu akan membentuk antigen, sehingga terjadi suatu reaksi antigen. Kondisi ini yang kemudian menghancurkan sel darah merah janin.
“Jika golongan darah ibunya O, sementara anaknya non O, maka di dalam badan darah ibunya sudah membentuk anti O. Anti O itu yang menghancurkan sel darah merah bayi. Kondisi ini yang mengakibatkan terjadinya hiperbiliribunemia,” ujarnya.
Sebenarnya hiperbilirubinemia pada bayi dapat terdiagnosis sejak awal dengan mengetahui golongan darah pada perempuan sejak masa kehamilan.
“Ketika sudah diketahui golongan darah si ibu ini O, maka dokter sudah mengkode supaya lebih waspada akan potensi bahaya ke depannya,” ujarnya.
Perempuan bergolongan darah O sebenarnya berpotensi lebih besar melahirkan bayi dengan ensefalopati bilirubin dan potensi mengalami komplikasi berat. Dimana bilirubin yang tidak larut dalam lemak akan menempel di otak sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan otak secara permanen, serta berujung kematian.
“Kalau ibunya O sementara bapaknya non O, dan ternyata melahirkan anak non O, maka perlu segera dilakukan deteksi dini. Terlebih lagi harus segera diketahui rhesusnya,” ujarnya.
Dokter spesialis Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Dr. Soetomo Agus Haryanto,dr.,SpA(K) menganjurkan bagi ibu hamil untuk memeriksakan golongan darah sejak dini.
“Ironisnya, 90 persen pasien ibu melahirkan di RSUD Dr. Soetomo tidak tahu golongan darahnya. Untuk itu, penting agar memastikan golongan darah sejak kehamilan. Karena dari sekian banyak bayi yang terlahir dengan gejala hiperbilirubinemia, disebabkan karena orang tuanya tidak mengetahui golongan darahnya,” ungkapnya.
Agus menjelaskan, jika diketahui bayi mengalami hiperbilirubinemia stadium dua disertai demam dan kejang, maka 90 persen berpotensi meninggal. Sementara jika masih bisa diselamatkan, maka diupayakan tindakan transfusi tukar golongan darah.
“Cara ini dapat membantu bayi tetap survive tapi 10 persen beresiko cacat,” ungkapnya.
Walaupun masyarakat menganggap bayi kuning adalah hal wajar, namun tidak semua bayi kuning dianggap normal. Jika kadar bilirubin terlalu tinggi sementara tidak mendapat penanganan yang tepat, maka dapat memicu terjadinya kernikterus atau komplikasi berat. Dampak dari komplikasi ini dapat mengganggu sistem saraf otak secara permanen.
Dunia medis mengenal kernikterus sebagai suatu komplikasi berat dari hiperbilirubinemia, dimana kadar bilirubin di dalam tubuh bayi (kadar bilirubin darah > 20 mg/dl) sehingga bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada saraf otak secara permanen.
Kasus hiperbilirubinemia di Surabaya tercatat sebanyak 6-8 kasus pertahun dari 450 bayi yang kuning.
“Itu yang terdaftar, saya kira yang nggak terdaftar dan meninggal di rumah banyak sekali,” ujarnya.
Sayangnya, hingga kini belum ada data akurat yang menunjukkan besaran kasus hiperbilirubinemia di Indonesia. Padahal jika kita memiliki local data, kita bisa lakukan pemetaan untuk keperluan intervensi sejak dini. semakin bisa dicegah sejak dini, semakin optimal kualitas hidup para bayi ke depannya,” ungkapnya. (*)
Penulis : Sefya Hayu Istighfaricha
Editor : Binti Q. Masruroh