UNAIR NEWS – Memperingati HUT Dharma Wanita Persatuan (DWP) ke-23 dan Hari Ibu ke-94, DWP Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Ristek, dan Teknologi menggelar Webinar Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi secara hybrid pada Selasa (6/12/2022). Ketua umum Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Indonesia (ASWGI) sekaligus ketua Pusat Studi Gender dan Inklusi Sosial (PSGIS) Universitas Airlangga (UNAIR) Prof Dr Emy Susanti MA hadir sebagai narasumber.
Menurutnya, kekerasan seksual atau disebut pula kekerasan berbasis gender adalah kekerasan yang ditujukan pada individu berdasarkan jenis kelamin (biologis) atau identitas gender yang terjadi dalam kehidupan publik dan pribadi secara offline maupun online. Kekerasan ini dapat berbentuk fisik, seksual verbal dan non-verbal, psikologis verbal maupun non-verbal, serta ekonomi.
Kekerasan seksual berarti setiap perbuatan secara paksa merendahkan, menghina, menyerang, dan perbuatan lainnya terhadap tubuh hasrat seksual seseorang dan/atau fungsi reproduksi bertentangan dengan kehendak seseorang. Korban dalam hal ini tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena adanya ketimpangan relasi kuasa.
Fenomena Gunung Es Kasus Kekerasan Seksual di Kampus
Kekerasan berbasis gender di perguruan tinggi belakangan marak terjadi sebagaimana Komnas Perempuan (2020) menyebut ada 1.468 kasus dengan pelaku yang tidak memandang status sosial, ekonomi, dan politik. Kasus tersebut seringkali ditutupi menggunakan ‘demi nama baik kampus’ sehingga tidak terselesaikan pada level institusi pendidikan.
“Realitas di perguruan tinggi belum semua memiliki kebijakan keadilan gender dan inklusi serta layanan integratif untuk melindungi korban. Tak heran, kasus berulang karena tidak ada sanksi atau hukuman yang (masih) ringan bagi pelaku,” ungkap Prof Emy.
Senada dengan hasil penelitian yang ia lakukan bersama tim melibatkan 36 perguruan tinggi di Indonesia mencakup 3.194 responden mahasiswa serta 1.450 dosen dan tendik menunjukkan 29 persen pelaku mahasiswa melakukan kekerasan kepada sesama mahasiswa. Sementara itu, mayoritas dosen dan tendik mengalami kekerasan seksual yang disebabkan oleh dosen sebesar 35,5 persen.
Kebijakan Pemerintah Hingga Peran keluarga
Kasus kekerasan seksual di lingkup kampus membawa dampak sosial-psikologis negatif yang berlangsung mendalam dan berbahaya karena para intelektual inilah yang seharusnya menjadi agen perubahan sosial bagi masyarakat. Maka pemerintah menetapkan Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
“Pentingnya ada Permendikbud-Ristek ini karena kekerasan seksual adalah salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang paling keras dan melanggar hak asasi manusia terhadap perempuan. Sehingga membutuhkan kebijakan negara yang berperspektif kepentingan terbaik bagi korban,” jelas Guru Besar Departemen Sosiologi FISIP UNAIR itu.
Menangani kekerasan seksual di kampus juga harus dimulai dari keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam kehidupan masyarakat. Hal ini seiring ketika anak nantinya memasuki jenjang perkuliahan, mereka bisa menyebarluaskan nilai-nilai kesetaraan gender sesuai poin ke-5 Sustainability Development Goals (SDGs) sebagai indikator pembangunan manusia. (*)
Penulis: Sela Septi Dwi Arista
Editor: Binti Q. Masruroh