Universitas Airlangga Official Website

Ketua BEM dan Amnesty UNAIR: UU TPKS Jadi Nafas Segar Tetapi Banyak Celah

Sumber: kompascom

UNAIR NEWS – Setelah sepuluh tahun mangkrak, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) akhirnya resmi disahkan beberapa waktu yang lalu. Ketua BEM Universitas Airlangga (UNAIR) Yoga Haryo Prayogo dan Ketua Amnesty International Indonesia Chapter Universitas Airlangga (UNAIR) Dhamar Jagad Gautama berpendapat bahwa disahkannya RUU TPKS ini menjadi nafas segar bagi persoalan kekerasan seksual di Indonesia.

Celah dalam UU TPKS

Dhamar berpendapat bahwa UU TPKS secara garis besar sudah sangat berupaya untuk menangani persoalan kekerasan seksual di Indonesia secara serius dengan berperspektif korban. Akan tetapi, masih terdapat lubang dalam UU TPKS seperti persoalan perkosaan.

“Seharusnya pasal perkosaan dimasukkan juga pada UU TPKS ini, bukan di KUHP yang baru nantinya. Hal ini dimaksudkan agar perlindungan hukumnya lebih kuat karena lex specialis, bukan lex generalis,” jelas Dhamar.

Ketua Amnesty International Indonesia Chapter Universitas Airlangga (UNAIR) Dhamar Jagad Gautama. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Selain itu, Dhamar juga berpendapat bahwa yang menjadi catatan khusus selanjutnya adalah pengimplementasian UU TPKS. “Maraknya, ketika sebuah undang-undang sudah baik pengaturannya, tetapi penerapannya banyak mengalami kontradiksi dan dapat menimbulkan ketidakadilan kemudian. Untuk itu, peraturan turunan dari undang-undang ini harus segera diselesaikan agar kepastian hukum bagi masyarakat lebih bisa terjamin,” terangnya.

Mengawal dan Menyukseskan UU TPKS

Sebagai bentuk konkret mengawal dan menyukseskan UU TPKS, Dhamar berpendapat ada beberapa hal yang bisa dilakukan, antara lain (1) Tidak menjadi pelaku kekerasan seksual. Pelaku kekerasan seksual tentu berasal dari kalangan masyarakat sendiri. Sehingga, masyarakatlah yang sebenarnya memiliki peran besar dalam penyuksesan UU TPKS tersebut.

(2) Meletakkan perspektif untuk membela korban. Korban merupakan seseorang yang dirugikan dan berada di posisi yang lebih bawah. Akan tetapi, kondisi masyarakat dengan budaya patriarki yang tinggi memperbesar potensi untuk merendahkan korban dan menganggap kekerasan seksual bukan suatu hal yang penting. Akan sangat ironis ketika korban yang dalam kondisi demikian semakin jatuh karena tidak memiliki dukungan dari masyarakat.

Toh, korban yang dimaksud dalam UU TPKS ini tidak berbatas pada gender tertentu. Semua masyarakat yang memang mendapat kekerasan seksual adalah korban,” jelas Dhamar.

(3) Penerapan Permendikbud No. 30 Tahun 2021. Menurut Dhamar, para mahasiswa juga harus terus mendesak pihak kampus untuk segera menerapkan Permendikbud No. 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi dengan membentuk peraturan rektor, satgas, dan lain-lain.

Ketua BEM Universitas Airlangga (UNAIR) Yoga Haryo Prayogo. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Sependapat dengan Dhamar, Yoga menambahkan bahwa edukasi yang masif harus terus dilakukan. “Misalnya di tingkat mahasiswa dan sekolah, sebisa mungkin pendidikan seksual dan gender ini sudah diterapkan. Pemahaman seperti ini jangan akhirnya dihindarkan karena tabu yang akhirnya berdampak pada pemahaman masyarakat yang kurang tepat,” jelas Yoga.

Yoga berpendapat bahwa UU TPKS yang diharapkan mampu menciptakan zero violence dan mampu menjadi payung hukum bagi masyarakat harus dikawal bersama. “Seperti saat di awal RUU TPKS dicetuskan, hampir semua elemen mulai dari akademisi, mahasiswa, dan NGO selalu mengkaji dan mengawal RUU ini hingga disahkan. Sehingga, setelah disahkan pun, tentu tetap harus dikawal, apakah nantinya implementasinya sudah tepat atau tidak,” terangnya. (*)

Penulis : Tristania Faisa Adam

Editor : Binti Q Masruroh