Universitas Airlangga Official Website

Kisah Irjen Sambo Jangan Sampai Melupakan Hari Kemerdekaan RI

Dalam pengujung Perang Dunia II, ada pertempuran hebat yang menentukan berakhirnya PD II itu antara pasukan Nazi Jerman dan pasukan Uni Sovyet (yang sekarang menjadi Rusia). Yaitu, pertempuran Stalingrad atau the Battle of Stalingrad  yang terjadi pada 23 Agustus 1042 – 2 Februari 1943. Pertempuran itu merupakan pertempuran yang paling besar di sejarah PD II, melibatkan 2,2 juta tentara, menelan korban 1,8-2 juta orang meninggal, berlangsung lebih dari lima bulan. Pertempuran yang masif itu merupakan pertempuran dalam berbagai front, darat, udara, sampai satu lawan satu di dalam kota Stalingrad (sekarang bernama Volgograd). Pertempuran itulah yang menyebabkan Kota Berlin jatuh setelah tentara Sovyet menyerbunya dan membuat Nazi Jerman menyerah. Sejarah perang di Stalingrad ini selalu diperingati di Rusia.

Selain itu pada setiap tanggal 20 Mei seluruh TV Rusia menayangkan acara parade militer peringatan hari kemenangan atau Victory Day atas Nazi Jerman lebih dari 60 tahun silam di Moskow. Hampir seluruh rakyat Rusia termasuk penyiar TV memasang pita di dada sebelah kiri tanda merayakan hari kemenangan itu. Pertempuran hidup mati bangsa Rusia melawan Jerman menjadi sejarah penting bagi bangsa Rusia. Kkarenanya, setiap tahun diperingati secara besar-besaran.

Di setiap kota dan desa ada acara mengenang hari yang penuh dengan heroism itu. Orang tua, pemuda, dan anak-anak memakai seragam tentara Rusia jaman dulu. Tank-tank jaman pertempuran itu dipamerkan. Ada acara perang-perangan yang meniru adegan pertempuran melawan Nazi dan sebagainya. Stasiun TV di negara itu menayangkan film dokumenter pertempuran melawan Jerman di berbagai kota seperti Stalingrad dan sekitarnya. Stasiun TV itu juga mewancarai para veteran perang yang menjelaskan heroism perjuangan mereka. Sebaliknya, para veteran yang sudah sepuh atau tua itu berkunjung ke sekolah-sekolah menjelaskan sejarah perjuangan bangsa pada generasi penerusnya. Pendek kata, bangsa Rusia merayakan hari sejarah mereka dengan gegap gempita.


Ironis bagi kita bangsa Indonesia yang dalam sejarahnya dipenuhi dengan sejarah perjuangan anak-anak muda untuk merebut kemerdekaan bangsa. Tapi, saat ini menjelang perayaan kemerdekaan 17 Agustus 1945 sepi senyap. Hanya ada upacara bendera di kantor-kantor pemerintahan. Setelah itu bubar. TV-TV kita saat ini tetap saja menayangkan acara kasus Irjen Sambo yang membunuh anak buahnya sendiri Bragadir Joshua. Rakyat mengikuti dengan seksama dan penuh tanda tanya, penuh rasa kecurigaan terhadap skenario sang jenderal yang berubah-ubah. Rakyat sangat antusias mengikuti barita itu karena menyangkut soal perselingkuhan seperti sinetron Ikatan Cinta. Berita kebohongan Irjen Sambo itu menenggelamkan berita tentang utang luar negeri Indonesia yang sudah mencapai lebih dari Rp 7.000 triliun. Dan yang lebih sedih, menenggelamkan berita tentang 17 Agustus. Hari Kemerdekaan RI.

Beberapa stasiun TV juga menayangkan gosip para selebriti, terutama soal pengalaman berhubungan seks dengan selingkuhannya. Cerita para koruptor yang menerima uang haram dan dipakai untuk mengumbar nafsu syahwat. Acara musik hingar bingar yang membuat para penontonnya menari kesurupan dan lupa bahwa pada tanggal 17 Agustus itu dulu anak-anak muda seperti mereka berjuang mati-matian mengorbankan jiwa raganya dengan tekad ‘Indonesia Merdeka’ dan ‘Merdeka Ataoe Mati’. Jarang, bahkan boleh dikata tidak satupun TV, radio, atau koran yang mewawancarai para pejuang kita tentang pengalaman mereka berdarah-darah merebut kemerdeaan demi harga diri bangsa.

Tayangan atau liputan tentang polisi membunuh polisi itu bukannya tidak penting. Itu tetap penting karena kasus ini perlu terus menerus dibicarakan diranah publik demi menjaga marwah polisi dan demi menegakkan kepercayaan publik terhadap Kepolisian RI. Namun kita tidak boleh melupakan tentang sejarah bangsa ini dalam upaya mereka melawan penjajahan, melawan segala bentuk penghinaan bangsa lain kepada bangsa kita selama ratusan tahun sampai mencapai puncaknya pada 17 Agustus 1945.

Saya pribadi, pada menjelang hari kemerdekaan kita ini, selalu bercerita kepada keluarga besar saya, kepada cucu-cucu saya bahwa sepupu saya almarhum Cak Majid anggota Laskar Hidayatullah gugur ditembak Belanda tahun 40-an di usia muda di Mojokerto. Saya juga bercerita dari almarhumah ibu saya bahwa rumahnya dipakai sebagai markas anak-anak muda Laskar Hidayatullah berkumpul dan meminta doa-doa dari para kiai sebelum terjun ke medan pertempuran. Saya melakukan hal ini agar generasi muda, minimal keluarga saya, tidak lupa perjuangan bangsa ini.

Namun, saya masih bahagia melihat masyarakat kita, tua muda, masih merayakan Hari Kemerdekaan 17 Agustus dengan menyelenggarakan lomba-lomba seperti lomba karung dan makan kerupuk. (*)