Universitas Airlangga Official Website

Koeksistensi Sains-Agama dan Resiliensi Trauma dalam Psikologi

Penyampaian materi oleh Dosen Psikologi UNAIR, Rizqy Amelia Zein SPsi MSc PhD Candidate (Foto: Tangkapan layar Zoom Meeting)
Penyampaian materi oleh Dosen Psikologi UNAIR, Rizqy Amelia Zein SPsi MSc PhD Candidate (Foto: Tangkapan layar Zoom Meeting)

UNAIR NEWS – Wujudkan forum untuk bertukar gagasan dan pandangan dalam bidang psikologi, Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Airlangga (UNAIR) gelar International Virtual Symposium 2025. Kegiatan ini berlangsung selama tiga hari mulai dari Selasa (24/6/2025) hingga Kamis (26/6/2025). Pada hari pertama simposium, salah satu bahasannya berfokus pada diskursus koeksitensi sains-agama dan resiliensi trauma.

Pada penyelenggaraan hari pertama, hadir sebagai pemateri Dosen Psikologi UNAIR, Rizqy Amelia Zein SPsi MSc PhD Candidate dan Spesialis Kesehatan Mental, Anna Tajminah Basman PhD Candidate dari International Islamic University of Malaysia. Masing-masing membawakan materi tentang perpaduan antara penjelasan ilmiah dan agama dengan pendekatan psikospiritual terhadap pertumbuhan pasca-trauma. 

Dalam penjelasannya, Rizqy menjelaskan bahwa materi yang ia sampaikan sangat relevan dengan pengalaman kehidupan sehari-hari. “Pembahasan ini akan menjadi sesuatu yang menarik. Dalam pembahasan ini, saya tidak akan mencoba meyakinkan Anda jika sains dan agama memiliki substansi yang kompatibel karena ini tergantung pada persepsi,” ucapnya. 

Menurut Rizqi, penjelasan koeksistensial adalah sebuah fenomena ketika orang dengan perbedaan umur dan budaya menjelaskan fenomena dengan pendekatan sains dan agama. “Banyak orang dari berbagai negara, budaya, bahkan umur terlibat dalam kedua penjelasan (sains dan agama, red) meskipun keyakinan terhadap sains lebih dominan,” jelasnya. 

Alih-alih memilih salah satunya, penelitian terbaru mengungkapkan bahwa individu lebih cenderung menggabungkan penjelasan ilmiah dan religius secara pragmatis. Fenomena ini menggambarkan bahwa manusia mampu memanfaatkan kedua kerangka berpikir sesuai dengan konteks maupun kebutuhan. 

“Mereka berusaha pragmatis dengan mengambil yang menarik dari keduanya. Jika cocok bisa menggunakan sains. Apabila sesuai dengan konteksnya, bisa menggunakan keyakinan religius. Jadi ini bukan tentang satu menentang lainnya, tapi kita terlibat di dalam keduanya dan terdapat pola dalam keterlibatannya,” ungkapnya. 

Dalam penyampaian berikutnya oleh Anna, ia memaparkan penelitiannya. Ia mengungkapkan bahwa terdapat krisis trauma pekerja kemanusiaan secara global yang berdampak sistemik. Ia menyebutkan penelitian Cardozo pada 2012 menerangkan bahwa trauma pekerja mengganggu kualitas bantuan kemanusiaan yang mereka bisa berikan. 

Ia juga menjelaskan bahwa penelitiannya ini berfokus pada post traumatic growth (PTG). Hakikatnya, PTG adalah transformasi positif yang kita alami setelah mengalami trauma. “Biasanya, ketika kita membicarakan trauma, kita hanya fokus pada aspek negatifnya. Seperti dampak kesehatan mental negatif seperti depresi, kecemasan, stres, atau bahkan gangguan stres pasca-trauma. Namun, dalam penelitian ini, kita ingin fokus pada transformasi positif, yaitu PTG,” ujarnya. 

Menurut Anna, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk menciptakan transformasi positif. “Program dukungan trauma harus sensitif secara kultural, khususnya untuk Muslim. Menurut Lodin, shalat, dzikir, dan penerimaan takdir serta pemaknaan baru dapat memberikan sebuah fasilitas agar tercipta transformasi positif,” sebutnya. 

Penulis: Mohammad Adif Albarado

Editor: Yulia Rohmawati