Universitas Airlangga Official Website

Kolaborasi Seminar Nasional UNAIR dan UGM Ulas Subkultur di Era Modern

Glory Emanuelle (kiri), Ahmad Faizin SS (tengah), dan Athaya Prita Belia SHum (kanan) saat menyampaikan diskusi dalam Seminar Nasional UNAIR dan UGM pada Jumat (16/5/2025). (Foto: Istimewa)
Glory Emanuelle (kiri), Ahmad Faizin SS (tengah), dan Athaya Prita Belia SHum (kanan) saat menyampaikan diskusi dalam Seminar Nasional UNAIR dan UGM pada Jumat (16/5/2025). (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Program Studi Magister Kajian Sastra dan Budaya (MKSB) Universitas Airlangga (UNAIR) berkolaborasi dengan Magister Pengkajian Amerika Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar seminar nasional bertajuk The New Subcultures in The Modern Era. Seminar tersebut berlangsung pada Jumat (16/5/2025) di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Gedung Soegondo lantai 7, UGM.

Acara itu menjadi bagian dari rangkaian studi banding Himpunan Mahasiswa (HIMA) MKSB UNAIR. Tiga narasumber dari berbagai bidang hadir untuk membedah dinamika budaya digital dan identitas masyarakat kontemporer. Diskusi berfokus pada munculnya subkultur baru serta peran media dan komunitas dalam membentuk ruang ekspresi alternatif.

Mengawali diskusi, Ahmad Faizin SS, mahasiswa prodi MKSB membahas mengenai praktik budaya kopi pagi (kopag) yang berkembang pada kalangan pelajar di Kota Malang. Menurutnya, kopag tumbuh dari kebutuhan pelajar untuk memulai hari dengan lebih segar dan produktif. Budaya ini muncul sebagai alternatif dari rutinitas nongkrong yang mereka anggap melelahkan.

“Pelaku budaya mengaku merasa lebih siap memulai hari setelah menjalani aktivitas kopag. Kegiatan ini tidak menuntut pelakunya berpenampilan tertentu, karena esensinya terletak pada sensasi segar yang mereka rasakan. Kopag menjadi semacam kebutuhan pagi yang memberi energi untuk menjalani aktivitas secara optimal, jelasnya.

Melanjutkan diskusi, Athaya Prita Belia SHum, mahasiswa Prodi MKSB mengulas munculnya genre musik digital Baddicore dalam komunitas komunitas metal. Athaya menelusuri istilah tersebut melalui unggahan drummer Stray From The Path di X (Twitter), yang kemudian penggemar gunakan untuk mengategorikan band seperti Dayseeker dan Motionless in White. 

Penamaan genre ini, sambungnya, tidak lagi datang dari industri musik atau media semata, melainkan dari komunitas penggemar itu sendiri. Menurutnya, genre bukan sekadar label, tetapi medium negosiasi identitas, termasuk gender dan geografi, di ruang algoritmik seperti TikTok dan Instagram.

“Menurut saya, penggemar memiliki peran besar dalam membentuk bahkan mengubah makna genre. Mereka tidak hanya menjadi pendengar, tetapi juga memberikan respons kritis terhadap cara industri merancang genre sebagai strategi pemasaran,” tuturnya.

Glory Emanuelle, mahasiswa Magister Pengkajian Amerika UGM menutup diskusi dengan studi kasus tren lagu Savage Daughter di TikTok dan kaitannya dengan identitas perempuan pribumi. Glory menyoroti bagaimana media kerap merepresentasikan perempuan native American secara sempit dan stereotipikal, seperti dalam film Pocahontas atau Peter Pan. Hadirnya lagu tersebut menjadi simbol perlawanan terhadap stereotip yang mengekang identitas mereka.

“Lagu Savage Daughter membawa semangat perlawanan yang kuat, salah satunya tercermin dalam lirik I will not lower my voice yang menunjukkan keberanian untuk bersuara. TikTok menyediakan ruang alternatif bagi perempuan Pribumi untuk menyebarkan narasi mereka secara luas, sesuatu yang sulit mereka dapatkan dalam media,” ujarnya.

Lebih lanjut, melalui konsep Subaltern Counterpublic dan Red Intersectionality, Glory memperlihatkan bahwa media sosial kini menjadi bentuk ekspresi perempuan Pribumi dalam menghadapi narasi dominan media. Mereka bukan sekadar konten kreator, tetapi agen budaya yang menyuarakan sejarah dan perlawanan melalui ekspresi digital.

Penulis: Fania Tiara Berliana Marsyanda

Editor: Khefti Al Mawalia