Universitas Airlangga Official Website

KOMAHI Bedah Film Pendek berdasarkan Perspektif Hukum Kekerasan Seksual

Dwi Rahayu Kristianti menyampaikan materi tindakan pelecehan dan kekerasan seksual (Foto: SS zoom meeting)

UNAIR NEWS – Badan Semi Otonom (BSO) Komite Mahasiswa Hukum Airlangga (KOMAHI) bedah film pendek “Telur Setengah Matang” pada Sabtu (21/10/2023). Film berdurasi 16 menit tersebut mengusung isu tentang pentingnya edukasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

Bersama Dwi Rahayu Kristianti SH MA Dosen Fakultas Hukum, UNAIR menyoroti film berdasarkan perspektif hukum yang tercantum dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Setelah menonton film, dia berkesimpulan bahwa kurang menemukan isu kekerasan seksual.

“Saya kesulitan menemukan benang merah antara alur cerita dengan isu kekerasan seksual dalam film. Hanya beberapa adegan maupun dialog yang mengarah ke sana tetapi, tidak banyak,” ujarnya.

Implementasi UU TPKS di Film

Melalui zoom meeting, dosen hukum ini melanjutkan pendapatnya bahwa implementasi tindakan preventif pelecehan dan kekerasan seksual dalam film termuat pada UU TPKS pasal 4 ayat 1 dan 2. Dia menemukan tindakan persetubuhan terhadap anak, pemaksaan sterilisasi (aborsi), dan pemaksaan perkawinan di film.

“Pemeran film termasuk golongan usia anak SMA yang belum dewasa. Tokoh utama ini melakukan hubungan seksual sebelum perkawinan. Solusi yang terdapat dalam film adalah perkawinan dini dan aborsi yang jelas-jelas melanggar aturan,” tuturnya.

Dialog tokoh bapak untuk melakukan perkawinan dan sterilisasi, tambah Dwi Rahayu Kristianti, merupakan salah satu bentuk tindakan pemaksaan. Menurutnya segala bentuk pemaksaan yang berhubungan dengan pelecehan dan kekerasan seksual adalah perilaku salah.

“Tindakan orang tua maupun masyarakat untuk melangsungkan perkawinan saat seorang pelajar hamil di luar nikah menurut mereka merupakan solusi terbaik. Padahal solusi tersebut bukan keinginan anak yang menyebabkan beban pikiran di usia remaja,” ujarnya.

Kurang Pemahaman UU TPKS

Melihat realita kehidupan masyarakat yang selalu bersinggungan dengan pelecehan dan kekerasan seksual, Dwi Rahayu Kristianti sangat prihatin terhadap penangannya. Dia menyayangkan putusan masyarakat yang cenderung memaksa korban untuk menghindari gunjingan.

“Kalau anak hamil tanpa suami tentu orang tua bertindak cepat menikahkan anaknya supaya tidak ada gunjingan. Padahal perkawinan dini itu menambah stress anak sehingga masalah tidak kunjung selesai, justru timbul permasalahan lain,” ungkapnya.

Pada pembahasan terakhir, pemateri mengungkapkan bahwa pemaksaan masyarakat timbul karena terdapat budaya penyangkalan dan reviktimisasi korban kekerasan seksual. Menurutnya tindakan tersebut masih sangat mengakar di lingkungan masyarakat.

“Masyarakat masih belum paham tentang UU TPKS yang memuat tindakan-tindakan yang tergolong kekerasan seksual. Kondisi tersebut menyebabkan kekerasan seksual semakin meningkat,” simpulnya.

Penulis: Iratri Puspita

Editor: Nuri Hermawan