Universitas Airlangga Official Website

Konferensi Rektor ASEAN Ungkap Dampak Penelitian terhadap Blue Economy

UNAIR NEWS – Gelaran The 6th ASEAN+3 Rector’s Conference resmi berlangsung pada Rabu (20/09/2023) di ASEEC Tower, Kampus Dharmawangsa-B, Universitas Airlangga (UNAIR). Konferensi tersebut menghadirkan sejumlah pimpinan universitas di kawasan Asia Tenggara, China, Korea, dan Jepang. Mengusung tema The Role of University Collaboration within ASEAN+3 Framework on Innovation and Industry Acceleration Ecosystem, forum tersebut membahas berbagai topik mengenai kolaborasi dan inovasi antara perguruan tinggi dan industri. Salah satunya, mendorong inovasi melalui penelitian inklusif tentang blue economy.

Diskusi panel tersebut menghadirkan sejumlah pembicara. Mereka adalah Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan RI Dr Kusdiantoro SPi MSc, Wakil Presiden Kelompok Kerjasama Industri-Akademik Daejeon University Dr Cho Hyunsug, dan Rektor Universiti Malaya Profesor Dato’ Ir. Dr. Mohd Hamdi Abd Shukor. 

Tantangan Implementasi Blue Economy di Indonesia

Kusdiantoro mengungkapkan bahwa sektor kelautan dan perikanan memiliki potensi besar untuk membangun perekonomian di Indonesia. Hal itu terbukti dengan kekayaan sumber daya laut yang Indonesia miliki. Bahkan, Indonesia menjadi salah satu negara penghasil sumber daya laut terbesar di dunia. Kendati itu, implementasi blue economy di Indonesia masih belum tercapai.  

“Ada beberapa masalah yang menghambat penerapan blue economy. Mulai dari rusaknya keragaman hayati akibat ulah manusia, pengalihan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi sektor ekonomi, hingga masalah sampah laut,” ungkapnya. 

Guna merespons permasalahan itu, Kusdiantoro mengusulkan upaya melalui penerapan neraca kelautan. Ia menilai neraca kelautan dapat berperan sebagai indikator untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan sumber daya laut. 

“Selain itu, beberapa upaya juga bisa dilakukan oleh kita semua. Kita bisa melakukan penelitian bersama, berbagi pengetahuan dan membangun kapasitas, serta saling bertukar inovasi blue economy,” ujarnya. 

Perubahan Iklim dan Blue Economy

Lebih lanjut, Mohd Hamdi memaparkan studinya tentang kondisi blue economy di Malaysia. Ia mengungkapkan tantangan yang Malaysia hadapi untuk menerapkan blue economy adalah perubahan iklim. Hal itu karena zona pesisir Malaysia berada di garis depan perubahan iklim. Tersebab itu, komunitas pesisir Malaysia sangat rentan terhadap ketidakamanan sumber air.  

“Intervensi yang kami lakukan adalah merancang solusi berbasis alam. Solusi ini berlandaskan pada berbagai sistem pengetahuan untuk memastikan komunitas pesisir memiliki ketahanan air. Jadi, mereka bisa mendapatkan sumber air bersih,” bebernya.  

Dengan memanfaatkan quadro helix, lanjut Mohd Hamdi, para peneliti dari Universiti Malaya (UM) aktif terlibat dalam penentuan stok karbon dan penyerapan karbon di hutan mangrove. Mereka mengidentifikasi potensi area dengan tujuan pembiayaan dan perdagangan karbon untuk mengurangi kerugian emisi karbon. Selain itu, mereka juga turut serta dalam menentukan harga ekosistem laut sebagai penyimpan karbon.

“Malaysia mengeluarkan 250 juta ton CO2 pada tahun 2021.Malaysia termasuk industri di dalamnya berkomitmen untuk mengurangi intensitas karbon terhadap PDB sebesar 45% pada tahun 2030 dibandingkan level pada tahun 2005,” pungkasnya. (*)

Penulis: Rafli Noer Khairam

Editor: Binti Q. Masruroh