Universitas Airlangga Official Website

Konstruksi Ideologi, Jaringan dan Gerakan Sosial Jaringan Islam Liberal dan Hizbut Tahrir Indonesia

Foto by CNN Indonesia

Akar pemikiran liberal di Indonesia dapat dilacak pada pemikiran Tjokroaminoto dan para tokoh modernis lainnya di Sarikat Islam (SI) dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Akar pemikiran liberal tersebut sempat menimbulkan pertentangan antara kaum Islam tradisionalis yang diwakili NU yakni dengan kaum Islam modernis yang diwakili Muhammadiyah (Huda 2009).  Selain itu terdapat Haji Agus Salim melalui gagasan organisasinya, Jong Islamieten Bond pada tahun 1925 (Ahmad 2011). Muhammad Natsir, seorang intelektual Islam menyebutkan bahwa demokrasi Islam adalah demokrasi yang dijiwai nilai-nilai Islami, yakni demokrasi yang dilandasi nilai-nilai ketuhanan.

Nurcholis Madjid mengatakan bahwa di dalam Islam terdapat nilai-nilai demokrasi yang merujuk pada ajaran Al Qur’an dan Sunnah (A’la 2003). Madjid merujuk pada Surat Al Fatihah “Ihdina al-sirat al-mustaqim” yang di dalamnya terkandung ijtihad sebagai mekanisme sosial dalam berpikir dan berargumen. Pemikiran Nurcholis Madjid dinilai terlalu vulgar dengan mengusung tema sekularisasi, Islam yes partai Islam no, kuantitas versus kualitas, kebebasan berpikir, dan sikap terbuka (Fihrisi 2014). Sementara sumber historis demokrasi Muslim, Madjid merujuk pada Piagam Madinah sebagai kontestasi politik yang menjunjung nilai-nilai universal yang di dalamnya disebutkan bahwa tidak perlu mendirikan negara Islam, tetapi negara yang menegakkan hukum dan perlindungan bagi hak-hak individu dan penghormatan kepada orang lain (Madjid & Roem 1997). Sikap yang disebut Madjid adalah sikap toleransi dan keterbukaan suku, etnis, warna kulit, dan agama masyarakat Indonesia (Izzati 2016).

Selain itu, peletak dasar pemikiran liberal lainnya adalah Abdurrahman Wahid yang menginginkan terciptanya persamaan hak bagi seluruh penduduk baik muslim maupun non-muslim. Wahid tidak setuju dengan orang yang menggunakan Al Qur’an (Q.S. 3:8) sebagai dasar penolakan kepala negara non-muslim karena Allah menggunakan kata awliya yang berarti sahabat, bukan umara yang artinya orang yang berkuasa (Abdillah 1999). Dengan kata lain, Wahid menyatukan keilmuan Islam klasik dan pemikiran kritis modern untuk menghasilkan humanisme (Barton 2006). Dalam konteks generasi baru muslim liberal, JIL sepenuhnya menerima sistem demokrasi. JIL menganggap prinsip-prinsip demokrasi seperti musyawarah, nilai-nilai kebebasan, keadilan, partai politik, pemilu, lembaga perwakilan dan sebagainya sangat sesuai dengan Islam. Hal ini juga sejalan dengan pemikiran Madjid bahwa partisipasi masyarakat mengandung makna kebebasan dan kemerdekaan (Madjid 1999). Tetapi pemikiran JIL mendapat tentangan keras dari berbagai pihak, salah satunya adalah Forum Ulama Umat Indonesia menuntut agar Ulil Abshar Abdalla dihukum mati atas pemikiran liberalnya (Elson 2010).

Pemikir JIL berpendapat bahwa syura memiliki arti yang sebanding dengan demokrasi. Melalui berbagai media, pemikir JIL berupaya mengkampanyekan pemikirannya. Pemikiran kelompok JIL dapat dirujuk dalam tori politik John Locke tentang persetujuan (Locke 1998), JJ Rousseau tentang kedaulatan rakyat (1987), dan John S. Mill tentang kebebasan individu (1974). Assyaukanie (2002) berpendapat bahwa demokrasi liberal tidak hanya menekankan pemilu dari jumlah mayoritas tetapi juga pada kebebasan individu dan hak minoritas. Di samping itu, JIL menyebutkan bahwa demokrasi harus diperjuangkan oleh siapa saja tanpa melihat latar belakang agama yang mereka anut. Tujuan dari pemikiran JIL adalah kampanye untuk mempromosikan pluralisme dan melindungi hak-hak minoritas dan memelihara sosial-politik yang adil dan manusiawi (Ghoshal 2010). Pemikiran JIL di atas menguatkan tesis Esposito & John O. Voll, Robert N. Bellah, dan Robert Hefner yang berpendapat Islam compatible dengan demokrasi.

Sementara itu, HTI menolak demokrasi karena berangkat dari keyakinan bahwa Islam adalah sistem paling sempurna. Oleh karena itu, yang ditonjolkan HTI adalah mengkonfrontasikan “akal” Tuhan versus akal manusia. Salah satunya mengenai Pancasila, HTI menilai Pancasila tidak sesuai dengan syari’at Islam yang menekankan kebenaran tunggal agama Islam (Arif 2016). Ide-ide HTI berdasarkan teks yang diproduksi Abdul Qadim Zallum yang dijadikan pegangan “teks suci” bagi para aktivis HT di seluruh dunia. Pemikiran Zallum menguraikan pertentangan Islam dengan demokrasi, di antaranya; 1). Demokrasi adalah produk akal manusia bukan dari Allah SWT; 2). Akidah dalam demokrasi adalah akidah sekularisme; 3). Ide pokok demokrasi adalah kedaulatan rakyat; 4). Demokrasi menggunakan suara mayoritas sementara Islam menggunakan nash syari’at; 5). Demokrasi menyuarakan kebebasan (Zallum 2001). Propaganda HTI ini disebarkan yang sebagian besar berada di kampus (Mietzner 2018). Pada akhirnya, Zallum berkesimpulan bahwa haram hukumnya umat Islam mengambil dan menyebarkan demokrasi. Maka dari itu, demokrasi disebut sebagai hukum thaghut karena tidak ada dalam Islam.

Islam dan demokrasi dipahami secara berbeda oleh kedua kelompok keagamaan, JIL dan HTI. JIL memahami Islam secara rasional, substantif, dan bertumpu pada ijtihad agar relevan dengan perkembangan zaman dan sesuai kemodernan. Sementara, HTI memandang Islam sebagai agama sekaligus ideology sebagai landasan hidup yang dapat diterapkan di semua keadaan. Pemahaman JIL banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh neo-modernis Islam yang menyuarakan toleransi dan pluralisme seperti Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid, Harun Nasution, dan Abdurrahman Wahid. Maka dari itu, JIL berusaha terus mengkontekstualisasikan al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan HTI dipengaruhi oleh hasan al-Bana, Sayyid Qutb, Abdul Qadim Zallum, dan Taqiyyuddin an-Nabhani yang berusaha menegakkan syari’at Islam dan khilafah.

JIL menerima demokrasi sebagai suatu cara untuk menegakkan keadilan dalam tata pemerintahan negara. Maka dari itu, JIL juga menyuarakan sekularisme, liberalisme, termasuk feminisme. Sedangkan HTI menolak demokrasi karena tidak sesuai dengan syari’at Islam dan demokrasi adalah produk akal manusia, bukan ‘akal’ Tuhan. Ideologi JIL berangkat dari liberalisme. JIL menyatakan dengan liberalisasi akan meruntuhkan kediktatoran. Dengan kebebasan, manusia dapat berpikir secara bebas dan rasional sehingga tidak terjadi hegemoni dan penindasan. JIL juga menyuarakan spirit pluralisme, kebebasan berpendapat, dan beragama. Bebas menurut JIL adalah kebebasan dalam konteks rule of law. Sementara itu, HTI menganut ideolologi Islamisme, yakni semua persoalan harus berdasarkan aturan agama. HTI merupakan gerakan fundamentalisme di mana HTI menolak penafsiran terhadap ayat al-Qur’an dan hadits dan menolak modernisasi karena dianggap memperparah masalah multidimensi.

Untuk mengembangkan jaringan dan anggota, JIL menggunakan model jaringan daripada organisasi, agar siapa saja dapat masuk. JIL menggunakan media dan bekerja sama dengan beberapa penerbit sebagai sarana penyebaran gagasan melalui media sosial, radio, artikel, jurnal, bahkan melalui diskusi-diskusi. Sedangkan HTI, menyebarkan gagasannya melalui publikasi yang diterbitkan sendiri. HTI juga mewajibkan aktivisnya untuk merekrut anggota dengan cara sistem sel. Pergerakan HTI dilakukan dengan tidak adanya kekerasan dan menyasar ‘akar rumput’.

Penulis: Dr. Siti Mas’udah, S.Sos., M.Si.

Link Jurnal: https://jice.um.edu.my/index.php/JAT/article/view/30080/15185