UNAIR NEWS – Fenomena ”Pengemis online” di platform media sosial saat ini tengah marak terjadi. Perkembangan teknologi telah banyak mengubah masyarakat, salah satunya ialah migrasi cara masyarakat mengemis. Kegiatan tersebut dilakukan oleh kreator konten dengan mengeksploitasi diri sendiri hingga orang lain untuk mendapatkan “sumbangan” dari masyarakat yang menonton.
Melihat fenomena tersebut, kepada UNAIR NEWS (26/1/2023), Psikolog Universitas Airlangga (UNAIR), Dr Ike Herdiana MPsi Psikolog, menyatakan bahwa pengemis online merupakan fenomena sosial yang menyajikan tayangan yang menyentuh rasa kasihan pengguna media. Hal itu, lanjutnya, mendorong perilaku memberi uang atau apapun sebagai bentuk donasi atau bantuan.
“Ide mandi lumpur, berendam di got, dan sebagainya ditujukan untuk menyentuh rasa iba orang yang melihat. Apalagi mereka juga menggunakan figur-figur yang secara sosial di dalam masyarakat kita tergolong kelompok rentan tidak berdaya,” ujarnya.
Ia pun melihat banyak masalah yang terjadi dalam fenomena tersebut, salah satunya eksploitasi masyarakat kelompok lemah. Mereka mencoba memainkan psikologis masyarakat untuk menggerakan hati pengguna media sosial dalam berdonasi. Dengan luasnya cakupan, ketika pertolongan tidak dapat diberikan secara langsung, hal inilah yang dimanfaatkan untuk membuka saluran donasi via daring.
“Karena ada unsur eksploitasi untuk mendapatkan keuntungan inilah yang kemudian menjadi larangan, yang dikeluarkan oleh pemerintah,” tambahnya.
Yang disesali, banyak peran anak muda dalam pembuatan konten tersebut. Menurutnya, dalam tinjauan psikologi, tindakan tersebut dipicu oleh maraknya anak muda yang memilih jalan hidup sebagai konten kreator dan melakukan semua hal demi konten. Prinsip trial and error coba mereka jalani, ketika mencoba suatu konten lalu mendapat respon baik, maka mereka akan lebih mengeksplorasi konten-konten serupa.
“Jika satu konten kurang mendapat respon, mereka akan tinggalkan, dan mencari konten lain yang lebih bisa memikat perhatian orang banyak. Dan masyarakat kita lebih mudah terstimulasi emosinya melalui konten-konten yang ekstrim atau tidak biasa,” pungkasnya.
Baginya, selama masih banyak yang menikmati dan merasa iba serta diikuti dengan tindakan donasi, maka konten seperti itu masih akan terus ada. Pemerintah perlu melakukan regulasi dan mengedukasi masyarakat untuk membuat konten yang lebih positif. Mencari donasi bukanlah hal terlarang, seperti yang banyak dilakukan oleh public figure lain, namun harus dengan cara yang baik.
“Bagi konten kreator, sharing kebaikan dan bermanfaat untuk masyarakat. Bagi penikmat media sosial, lebih selektif lah dalam mencari informasi di media sosial. Semua pengguna sama-sama kritis dalam menyikapi fenomena sosial,” tutupnya.
Penulis: Afrizal Naufal Ghani
Editor: Nuri Hermawan