Karyawan sebagai sekelompok individu yang bekerja sama dalam suatu perusahaan memiliki kepribadian, perspektif, dan kontrak psikologis yang berbeda antara satu karyawan dengan karyawan lainnya. Kontrak psikologis merupakan keyakinan individu tentang kewajiban bersama antara mereka dan organisasi (Morrison & Robinson, 1997). Ditinjau dari teori work engagement (Kahn, 1990) work engagement dapat menjadi mekanisme hubungan antara kontrak psikologis dan perilaku inovatif. Ketika karyawan merasa memiliki keterikatan dengan organisasinya, akan muncul niat untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar tanggung jawabnya, yaitu perilaku inovatif. Perilaku inovatif karyawan perlu terus dikembangkan agar perusahaan terus melakukan perbaikan. Berdasarkan teori inovasi organisasi (Woodman, Sawyer, & Griffin, 1993), perilaku inovatif individu tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan fungsi dari proses interaksi berkelanjutan antara individu dan situasi yang dihadapi. Situasi tersebut dapat berupa dukungan dari hubungan dengan organisasi dan dari hubungan sosial.
Rousseau (1990) membagi kontrak psikologis menjadi dua kategori, kontrak transaksional dan kontrak relasional. Kontrak transaksional merupakan hubungan jangka pendek dan karyawan hanya menjalankan kewajiban sebatas uang yang mereka terima dan hal ini menyebabkan kurangnya partisipasi dari karyawan (Bal & Kooij, 2011). Karyawan tidak mengharapkan hubungan jangka panjang dengan organisasi dan tidak didasarkan pada loyalitas dan keamanan kerja, tetapi karyawan menganggap pekerjaan mereka sebagai transaksi di mana ada waktu singkat untuk mengharapkan imbalan. Kontrak relasional terkait dengan kewajiban jangka panjang yang mencakup elemen sosial-emosional seperti loyalitas, kepercayaan, dukungan, dan keamanan kerja (Rousseau, 1990).
Kontrak relasional dicirikan oleh di luar pertukaran ekonomi yang berfokus pada pemeliharaan hubungan jangka panjang antara pemberi kerja dan karyawan misalnya pelatihan dan pengembangan (Rousseau, 1990). Chatman (1989) mengatakan bahwa kontrak ini memberikan keamanan kerja dalam jangka panjang dan ketersediaan pelatihan yang memadai, peluang pengembangan, dan jalur karir akan mendorong nilai-nilai yang sesuai antara individu dan organisasi melalui sosialisasi.
Kedua jenis kontrak psikologis merupakan prediktor penting untuk work engagement. Kontrak transaksional memiliki efek negatif pada work engagement sementara kontrak relasional tampaknya berdampak positif pada work engagement. Karyawan dengan kontrak transaksional yang dicirikan dengan kontrak psikologis jangka pendek dan lebih termotivasi oleh pertukaran ekonomi cenderung menurunkan work engagement mereka. Chang, dkk. (2013) berpendapat bahwa ketika karyawan cenderung memiliki kontrak transaksional, mempertahankan hubungan jangka pendek, organisasi gagal memberikan dukungan sosio-emosional kepada karyawannya yang pada gilirannya akan menurunkan work-engagement karyawan.
Work engagement yang rendah akan menurunkan energi, semangat, fokus, intensitas, dan ketahanan karyawan dalam mengambil risiko. Dengan demikian, karyawan akan enggan untuk melakukan perilaku inovatif. Sebaliknya, kontrak relasional dapat menumbuhkan kondisi psikologis karyawan yang meningkatkan keterikatan kerja (Chang, et al., 2013). Karyawan dengan tingkat keterikatan yang tinggi cenderung memiliki energi, antusiasme yang membuat mereka lebih bersedia untuk terlibat dalam perilaku inovatif. Sejalan dengan teori work engagement menurut Kahn (1990) yang menyatakan bahwa work engagement yang tinggi berperan sebagai motivasi bagi karyawan untuk lebih inovatif.
Tingkat sumber daya pekerjaan yang berbeda yang terdiri dari sumber daya organisasi dan sosial mengurangi efek negatif dari work engagement. Sumber daya organisasi melemahkan hubungan tidak langsung negatif antara kontrak transaksional dan perilaku kerja inovatif. Di sisi lain, baik sumber daya, organisasi dan sosial, memperkuat pengaruh tidak langsung dari kontrak relasional ke perilaku kerja inovatif melalui work engagement. Menariknya, sumber daya sosial yang berupa dukungan dari rekan kerja, tidak dapat memperkuat kontrak transaksional terhadap perilaku kerja inovatif melalui work engagement. Seorang karyawan dengan kontrak psikologis transaksional serta memiliki dukungan yang kuat dari organisasi seperti umpan balik kinerja dari manajer, maka karyawan akan melihat manajer sebagai representasi dari organisasi dalam hubungan antara atasan dan bawahan (Dulac, et al., 2008) daripada rekan kerja. Hal ini menyiratkan beberapa hal.
Pertama, atasan memiliki pengaruh langsung daripada rekan kerja untuk memenuhi kebutuhan karyawan karena atasan memiliki kekuatan untuk mendistribusikan penghargaan dan sumber daya lainnya. Kedua, bahwa inovasi merupakan aktivitas yang berisiko, diperlukan dukungan yang kuat dari pihak yang memiliki kekuatan legitimasi untuk menyelamatkan karyawan jika inovasi tidak terlaksana dengan baik atau bahkan gagal. Atasan atau manajer adalah orang yang memiliki kekuatan yang sah dibandingkan dengan rekan kerja atau rekan kerja. Dukungan dari rekan kerja dapat membantu karyawan dalam melakukan inovasi namun dukungan tersebut tidak mampu menciptakan keamanan psikologis bagi karyawan dengan kontrak psikologis transaksional, sehingga dukungan yang kuat dari atasan atau manajer lebih diperlukan bagi karyawan dengan kontrak psikologis transaksional agar dapat melakukan inovasi.
Penulis: Jovi Sulistiawan
Artikel selengkapnya dapat diakses pada link berikut ini,