Universitas Airlangga Official Website

Kritik Dosen FH UNAIR terhadap Pernyataan Wali Kota Medan Mengenai Penembakan Mati Pelaku Begal

Sumber: detikcom
Sumber: detikcom

UNAIR NEWS – Wali Kota Medan, Bobby Nasution, meminta aparat untuk mengambil tindakan tegas terhadap kejahatan begal. Bahkan jika perlu, melakukan penembakan mati terhadap pelaku. Pernyataan yang ia sampaikan melalui akun media sosial Twitter beberapa waktu lalu itu sontak mengundang perhatian publik.

Potensi Pelanggaran HAM

Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR) Riza Alifianto Kurniawan SH MTCP, menanggapi pernyataan Wali Kota Medan tersebut. Menurutnya, pernyataan Wali Kota Medan tersebut cukup berlebihan. Pasalnya, kebijakan penembakan mati pelaku tindak pidana bertentangan dengan HAM yang dimiliki pelaku dan prinsip hukum acara pidana serta sistem peradilan. Oleh karena itu, dalam menangani kejahatan, penting untuk mengikuti prosedur hukum yang berlaku dan memastikan perlakuan yang fair bagi pelaku.

Memotivasi Polisi

Meskipun penembakan mati pelaku tindak pidana tidak dapat diterapkan di Indonesia, pernyataan tersebut dapat dikonotasikan untuk memotivasi polisi dalam meningkatkan upaya dalam menurunkan tingkat kejahatan di Medan.

Polisi memiliki kewenangan untuk tindakan represif terukur, tetapi harus memperhatikan hukum yang berlaku. Jika pelaku melawan petugas dan menggunakan kekerasan yang berpotensi melukai korban dan saksi, polisi dapat melakukan tindakan pelumpuhan sebagai opsi terakhir. Tentunya tindakan represif tersebut akan diaudit untuk dipertanggungjawabkan setelahnya. Pelanggaran HAM dapat terjadi jika tindakan represif berlebihan atau ada penyalahgunaan kekuasaan.

“Apabila pelaku tindak pidana tertangkap tangan, dia akan menjalani proses peradilan yang fair dengan mekanisme pembuktian kesalahan. Hakim sebagai representasi negara akan memberikan keputusan dan sanksi yang setimpal bagi pelaku,” jelasnya.

Risiko Penyalahgunaan Kekuasaan

Riza menjelaskan bahwa hukum acara pidana dan sistem peradilan pidana berfungsi untuk mengawasi dan mengukur kewenangan dalam penyidikan, penuntutan, dan pembuktian di pengadilan guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan. Meskipun terdapat pembatasan terhadap HAM tersangka atau terdakwa dalam proses penegakan hukum, hal ini harus sesuai dengan prosedur yang berlaku untuk mencegah tindakan semena-mena.

Adapun salah satu alternatif dalam proses penegakan hukum adalah keadilan restoratif. Namun, hanya berlaku untuk tindak pidana ringan, tidak pada tindak pidana berat. Oleh karena itu, solusi terbaik dalam penegakan hukum tindak pidana berat adalah melalui proses persidangan yang meliputi pembuktian, penyitaan, dan pemberian sanksi yang setimpal setelah melalui proses peradilan yang bersih dan tidak memihak.

“Selain hukum publik yang mengatur tentang hukum acara pidana, etika polisi, penuntut umum, penyidik, dan hakim juga memiliki peran penting dalam prosesnya. Penting bagi penegak hukum untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan demi menjaga integritas,” pungkasnya. (*)

Penulis: Satriyani Dewi Astuti

Editor Binti Q. Masruroh