Universitas Airlangga Official Website

Kukuhkan Tujuh Guru Besar, Rektor UNAIR Ajak Akademisi Tingkatkan Daya Kritis

UNAIR NEWS – Rektor Universitas Airlangga (UNAIR) Prof Dr Mohammad Nasih SE MT Ak, mengukuhkan tujuh guru besar baru di lingkungan UNAIR. Penambahan guru besar tersebut semakin memperkokoh peran UNAIR bagi pendidikan di Indonesia dan dunia. Upacara pengukuhan tersebut berlangsung pada Rabu (18/10/2023) di Aula Garuda Mukti, UNAIR.

Ketujuh guru besar tersebut ialah Prof Dr dr Prastiya Indra Gunawan SpA (K), Prof Dr dr Achmad Chusnu Romdhoni Sp THK-KL(K) FICS, Prof Dra Heny Arwati MSc PhD, Prof Dr dr Rosy Setiawati SpRad (K), Prof Dr Tika Widiastuti SE MSi, Prof Dian Yulie Reindrawati SSos MM PhD, dan Prof Dr Drs Edy Jauhari MHum.

“Semoga ilmu dari guru besar ini semakin bermanfaat, berkembang, dan semakin menebarkan kepedulian. Bukan hanya secara personal tetapi untuk orang lain,” ungkap Rektor dalam pidatonya.

Manusia Harus Berpikir

Rektor menyampaikan bahwa guru besar harus mampu meluaskan jangkauan kebermanfaatan. Ia menilai, dengan otoritas keilmuan yang gubes miliki, maka tanggung jawab semakin besar. Setiap tingkah laku dan tutur bicara akan masyarakat lihat.

Ia menambahkan, yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya seperti hewan ialah daya kritis. Manusia memiliki kontrol terhadap pikiran dan tingkah lakunya. Oleh karena itu, berpikir adalah ciri utama dari seorang manusia. Maka, manusia yang sempurna adalah manusia yang senantiasa berpikir, khususnya untuk kemaslahatan sekitar.

“Dengan berpikir itulah yang menyebabkan kita ada. Berpikir salah satu unsurnya adalah memunculkan daya kritis atas suatu persoalan,” tambahnya.

Kritik Lewat Karya

Maka, sudah seharusnya sebagai guru besar, daya pikir yang kritis harus terus dikembangkan untuk pengembangan keilmuan. Daya kritis tersebut dapat ditunjukan dengan berbagai hal, seperti membuat sebuah penemuan, memberikan masukan kepada kebijakan, dan hal lainnya. Menurutnya, kritik bukan hanya untuk orang, melainkan juga terhadap sistem.

“Kritik itu bisa kita lakukan secara verbal tetapi hati-hati, bukan kepada orang dan menyangkut SARA. Melainkan kepada norma-norma yang dilanggarnya,” ucapnya.

Rektor menjelaskan jika selemah-lemah iman adalah melakukan kritik lewat hati, alias tidak ditunjukkan. Seharusnya, sebagai seorang akademisi, tidak layak untuk melakukan kritik lewat hati atau diam di saat melihat penyimpangan. Seorang akademisi harus melahirkan tindakan dan karya. (*)

Penulis : Afrizal Naufal Ghani

Editor  : Binti Q Masruroh