UNAIR NEWS – Jugun ianfu atau yang sering juga disebut sebagai comfort women hingga kini masih menjadi isu menarik untuk dibahas dalam beragam perspektif. Program Studi Kejepangan, Fakultas Ilmu Budaya UNAIR bersama Development Study Club menggelar kuliah tamu bertajuk “Menghidupkan Kembali Masyarakat Kolonial: Sejarah Jugun Ianfu Selama dan Setelah Perang” pada Rabu (14/12/2022), melalui zoom meeting.
Dalam kesempatan itu, turut hadir dosen Studi Kejepangan UNAIR, Nunuk Endah Sri Mulyani SS MA PhD selaku pemateri. Nunuk memaparkan bagaimana perbedaan persepsi dunia, khususnya Korea Selatan dengan Indonesia terhadap keberadaan jugun ianfu sebelum dan pasca perang.
Sebagai bentuk pemulihan penyintas jugun ianfu, Asian Women’s Fund (AWF) sempat memberikan dana bantuan terhadap para penyintas jugun ianfu, baik di Indonesia maupun Korea Selatan. Namun demikian, kata Nunuk, Korea Selatan memiliki perspektif yang begitu berbeda dengan Indonesia terkait Jugun Ianfu, baik dari isu sosial, politik, maupun ekonomi.
“Korea Selatan sangat mendukung penyintas untuk menolak dana bantuan karena dianggap merendahkan, serta terus memaksa Pemerintah Jepang mengakui perbuatannya tersebut,” kata Nunuk.
Beda halnya dengan Korea Selatan, Indonesia melalui Kementerian Sosial RI pada saat itu memutuskan untuk menerima bantuan dana bagi penyintas jugun ianfu pada masa Pendudukan Jepang.
Lebih lanjut, Nunuk mengatakan, perspektif terhadap keberadaan jugun ianfu itu dipengaruhi oleh konstruksi ingatan kolektif yang dibentuk oleh negara dan rakyatnya.
“Di Korea Selatan itu, mereka menggunakan berbagai media untuk membentuk ingatan kolektif dan memori bersama tentang jugun ianfu,” ujar Nunuk.
Ia menambahkan bahwa penyintas jugun ianfu dan perempuan pada masa perang memiliki posisi penting dalam sejarah di Korea Selatan. Keberadaan media-media seperti film tentang jugun ianfu pun turut diproduksi untuk mengonstruksi ingatan kolektif yang membuat mereka mempersepsikan perempuan sebagai pahlawan, tak hanya korban.
“Jadi, mereka ini mengingatkan bahwa perempuan itu tidak hanya korban, tapi juga pahlawan,” ujar Nunuk.
“Nah ini bedanya dengan Indonesia. Jangankan pahlawan, perempuan sebagai korban saja sering tidak di-blow up. Dianggap Rabu dan sensitif. Dukungan terhadap penyintas pun juga sangat minim,” imbuhnya.
Perlu diketahui, dalam kuliah tamu tersebut juga dihadiri oleh pembicara dari beberapa universitas di Jepang, seperti halnya Professor Mayumi Yamamoto dari Miyagi University, serta Professor William Bradley Horton dari Akita University yang memberikan perspektif baru dalam memandang jugun ianfu dari perspektif negara asalnya, Jepang.
Penulis: Yulia Rohmawati
Editor: Khefti Al Mawalia