Universitas Airlangga Official Website

Kuliah Tamu FIB UNAIR Bahas Nasionalisme dan Bahasa di Nusantara

Pemaparan Materi Kuliah Tamu oleh Pembicara. (Sumber: YouTube Development Study Club)

UNAIR NEWS – Departemen Bahasa dan Sastra Indonesia, FIB UNAIR baru saja melangsungkan kuliah tamu pada Sabtu (3/12/22) via zoom meeting. Melalui kolaborasi dengan Development Study Club, kuliah tamu yang bertajuk “On Indonesian: Between Nationalism and Language” itu turut mengundang Webb Keane, George Herbert Mead Collegiate Professor Department of Anthropology dari University of Michigan, serta Moch. Ali, dosen bahasa dan sastra Indonesia, FIB UNAIR.

Dalam kesempatan itu, Professor Webb Keane membuka kuliah tamu dengan membahas tentang bagaimana relasi keberagamaan umat muslim di Nusantara dengan proses nasionalisme serta kesadaran identitas bangsa. Ia mencontohkan bagaimana perjalanan projek penerjemahan Al-Qur’an dari bahasa Arab ke bahasa-bahasa yang ada di Nusantara yang dilakukan oleh HB Jassin. Perlu diketahui, HB Jassin merupakan tokoh muslim nasionalis Indonesia yang berperan sebagai penulis, penerjemah, cendekiawan muslim, dan kritikus sastra yang hidup pada zaman kolonial Belanda.

Ia menuturkan bahwa sebagai seorang tokoh nasionalis, projek penerjemahan Al-Qur’an yang dilakukan oleh HB Jassin bukan hanya projek religius tetapi juga menjadi salah satu bagian dari rasa nasionalismenya terhadap Indonesia. “Projek HB Jassin bukan hanya projek religiusnya, tetapi juga sebagai seorang nasionalis, itu merupakan bagian dari rasa nasionalisme Indonesia-nya. Ini menarik dari aspek lokalitas maupun kesejarahan yang mendasari beberapa masalah yang ia temui ketika menjalankan projeknya itu,” tutur Keane.

Sementara itu, Moch. Ali dalam kesempatannya juga memberikan keterangannya dalam konteks penggunaan bahasa lokal dalam proses pemahaman agama oleh umat muslim di Nusantara. Sama halnya dengan Keane, Ali juga menjelaskan bagaimana Al-Qur’an di kawasan Nusantara diterjemahkan dalam bahasa-bahasa kesukuan.

Dalam konteks Nusantara, katanya, umat muslim menggunakan bahasa kesukuan untuk mengekspresikan pengetahuan mereka identitas mereka budaya dan ekspresi keagamaan mereka. Namun demikian, seiring dengan perkembangan bahasa dan ditetapkannya bahasa nasional Indonesia, pihak Kolonial Belanda tidak memberikan kesempatan bagi umat muslim untuk belajar Al-Qur’an dan penerjemahannya dalam bahasa nasional, sehingga para ulama pada saat itu menulis terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Melayu atau dalam bahasa Jawa.

“Pihak kolonial Belanda tidak pernah memberikan janji kepada Muslim untuk belajar tentang Al-Qur’an sehingga para ulama memilih untuk menulis terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Melayu atau dalam bahasa Jawa, alih-alih menggunakan bahasa nasional,” katanya.

Sebagai penutup, seiring dengan perkembangan zaman, penggunaan bahasa sebagai identitas nasional terus mengalami evolusi. Sehingga, bahasa Indonesia dalam praktiknya kerap kali menjadi bahasa kedua dibandingkan dengan penggunaan bahasa-bahasa kesukuan sebagai identitas lokal.

Penulis: Yulia Rohmawati

Editor: Khefti Al Mawalia