Universitas Airlangga Official Website

Kuliah Umum FH UNAIR Bahas Hak Korban Kekerasan Seksual

Pembahasan Hak Korban TPKS dalam webinar Fakultas Hukum UNAIR. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Selain memperoleh dampak buruk secara fisik, sosial, seksual, dan ekonomi, korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) tidak mendapatkan perlindungan hukum sepenuhnya. Sebagai narasumber, Dr Ninik Rahayu menyatakan korban TPSK sebenarnya memiliki hak korban dalam Kuliah Umum Viktimologi “UU TPKS: Upaya Negara Lindungi Korban Kekerasan Seksual” pada Selasa (26/04/2022). 

Hak korban meliputi hak atas penanganan, perlindungan, pemulihan, lanjut Dr Ninik, dan yang terpenting korban tidak dapat dituntut secara pidana atau perdata terhadap peristiwa kekerasan seksual yang dilaporkan. Seringkali laporan korban tidak diproses langsung, karena diatasi oleh Unit Perempuan dan Anak. Namun, saat laki-laki melapor atas pencemaran nama baik, ditangani oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim).

“Layanan pengaduan merupakan hal yang utama, sebab tuduhan tersebut menjadi pemulihan awal. Lalu, hak atas informasi berada pada undang-undang kekuasaan kehakiman. Tetapi hakim, polisi, dan jaksa kerap tidak memberikan informasi apapun, dianggap (korban) manut aja. Terus, haknya apa kalo berproses hukum tidak tersampaikan?” ujar Pengajar Fakultas Hukum PT dan Diklat Pendidikan Hukum K/L. 

Hak atas perlindungan korban berisikan, bahwa mereka mendapatkan:

  • Informasi, transportasi, dan akomodasi
  • Pemberdayaan hukum dan terlibat dalam proses pelaksanaan perlindungan
  • Keamanan korban, rumah aman
  • Menyampaikan keterangan tanpa tekanan 
  • Kerahasiaan identitas dan tempat kediaman baru
  • Fasilitas dan bantuan khusus
  • Tidak mendapatkan stigma dan perlakuan diskriminasi 

Bukan hanya korban yang menerima perlindungan, melainkan keluarga korban, saksi dan hak ahli juga berhak memperoleh perlindungan hukum yang sama. Dr Ninik menekankan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual tidak melegalkan seks bebas. 

Menurutnya, pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi tidak berhubungan dengan melegalkan zina. Tidak mengajarkan cara berhubungan seksual, namun memberi tahu fungsi organ reproduksi dan cara merawatnya agar sehat. Hal ini berlaku kepada baik laki-laki, maupun perempuan untuk menjaga kesehatan reproduksinya. 

“Mulai draft pertama tahun 2015 sampai draft terakhir versi DPR, tidak satupun pasal yang mengatur perzinahan dalam UU TPKS. Karena zina dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap kesusilaan, sehingga tuduhan legalisasi zina tidak logis berdasar. Tidak adanya norma yang melarang zina bukan berarti RUU dan UU TPKS memperbolehkan,” tegas Dr Ninik dalam webinar yang diadakan oleh Fakultas Hukum UNAIR. 

Penulis: Balqis Primasari

Editor: Nuri Hermawan