UNAIR NEWS – Teknologi bioflok (BFT) merupakan salah satu sistem budidaya yang dapat menjadi alternatif akibat terbatasnya lahan dan air di masa yang akan datang. Dalam sistem ini memungkinkan penggunaan padat tebar tinggi dalam lahan terbatas tanpa harus melakukan pergantian air. Hal itu disampaikan oleh Muhammad Hanif Azhar SPi MSi dosen Akuakultur Sekolah Ilmu Kesehatan dan Ilmu Alam (SIKIA) UNAIR.
Dosen yang kini tengah menempuh pendidikan doktor di Universitas Turki tersebut menjelaskan, penggunaan sistem bioflok dapat secara signifikan memperbaiki kualitas air budidaya. Pasalnya, zat pencemar yang ada akan dirombak dan dikonversi menjadi gumpalan (flok) yang bisa dimakan oleh ikan/idang. Oleh karena itu, imbuhnya, penggunaan sistem bioflok tidak memerlukan pergantian air secara berkala karena dapat mereduksi bahan pencemar dalam air.
Selain itu, ia mengungkapkan bahwa flok yang dihasilkan dari dekomposisi limbah organik dalam sistem bioflok dapat menjadi sumber nutrisi bagi ikan/udang. Pasalnya, flok yang terbentuk tadi mengandung berbagai macam mikroba seperti plankton baik fitoplankton maupun zooplankton bakteri baik yang terasosiasi dalam senyawa extracellular polymeric substance.
“Dimana dalam senyawa tersebut mengandung beberapa komponen seperti protein, karbohidrat, lipid, asam nukleat dan zat humat. Oleh karenanya, flok dapat menjadi sumber nutrisi untuk meningkatkan pertumbuhan,” tandasnya.
Melanjutkan pemaparannya, Hanif mengungkapkan ada beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam pembentukan sistem bioflok salah satunya adalah aerasi dan kandungan senyawa karbon (C). Hal itu terjadi karena bakteri heterotrof memainkan peran utama dalam sistem bioflok. Yang mana bakteri heterotrof memerlukan C dan oksigen sebagai nutrisi untuk tumbuh dan mengoksidasi limbah organik.
“Selain untuk suplai oksigen, aerasi juga diperlukan guna menjaga agar air teraduk sehingga tidak menimbulkan sedimen yang membuat pembentukan flok tidak maksimal,” ujarnya dalam Sharing Session Sabtu (30/04/22).
Hanif menjelaskan supaya flok dapat terbentuk dalam sistem bioflok harus memiliki rasio karbon dan nitrogen (C/N rasio) = 10. Selain itu, dalam media (air) juga harus terdapat komposisi bakteri penghasil biopolimer yang berfungsi sebagai zat pengikat dalam flok.
“Beberapa diantaranya seperti spesies Zooglea ramigera, Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Pseudomonas alcaligenes, Spachratilus natans dan Flavobacterium,” sebutnya.
Beberapa bakteri tersebut juga menghasilkan senyawa Polyhydroxybutyrate (PHB) yang merupakan polimer intraseluler sebagai bentuk simpanan energi dan karbon. Dimana, lanjutnya, PHB ini dapat menjadi cadangan energi ikan, meningkatkan imunitas dan mampu meningkatkan pertumbuhan.
Selain itu, Hanif juga menjelaskan beberapa aspek penting lain dalam penggunaan sistem bioflok seperti pH dan temperatur sebagai faktor pembatas metabolisme dan pertumbuhan bakteri dan konstruksi kolam. Ia mengungkapkan, konstruksi kolam dalam sistem bioflok harus memungkinkan untuk tidak terbentuknya titik mati yang mengakibatkan pengadukan menjadi tidak maksimal.
“Oleh karena itu, umumnya penggunaan kolam bundar lebih sering dipakai dalam sistem bioflok karena mampu memaksimalkan pengadukan. Selain itu, lanjutnya, konstruksi kolam juga harus tersedia saluran pembuangan untuk mengurangi flok apabila terlalu padat,” ungkapnya. (*)
Penulis : Ivan Syahrial Abidin
Editor : Binti Q. Masruroh