Universitas Airlangga Official Website

Laporan Pertama Resistensi Beta-Laktam Fenotipik dan Genotip (Blaoxa-61) dari Campylobacter Jejuni pada Ayam Broiler di Indonesia

Campylobacter adalah patogen zoonosis yang bersumber utama dari bakteri makanan di dunia. Pada manusia, campylobacteriosis disebabkan oleh Campylobacter jejuni, sedangkan sisanya sebagian besar disebabkan oleh Campylobacter coli. Baru-baru ini, kejadian dan prevalensi campylobacteriosis telah meningkat baik di negara berkembang maupun negara maju.

Campylobacteriosis mempengaruhi lebih dari 1,5 juta orang di Amerika Serikat setiap tahun. Campylobacteriosis umumnya dapat sembuh dengan sendirinya termasuk demam, kram perut, dan diare berdarah. Namun, campylobacteriosis dapat menjadi kronis dan menyebabkan arthritis reaktif, sindrom Guillain-Barré, Miller-Sindrom Fisher, infeksi saluran kemih, sepsis, dan neuropati tertentu.

Unggas merupakan sumber utama penularan Campylobacter ke manusia, karena itu adalah bagian dari normal flora dalam saluran pencernaan unggas. Campylobacter spp., khususnya C. jejuni, dapat ditemukan dalam jumlah tinggi pada ayam broiler di tingkat peternak dan di rumah potong hewan unggas dan pasar daging.

Campylobacter dapat ditularkan dari unggas melalui kegiatan yang dapat membuat manusia terkena kotoran unggas, atau dengan menangani dan mengonsumsi daging yang terkontaminasi. Di Indonesia, 61,9% daging ayam dilaporkan mengandung mengandung Campylobacter dan sebagian besar isolat (41,07%) adalah C. jejuni. Di Asia Selatan, kejadian resistensi antimikroba pada Campylobacter diisolasi dari manusia dan hewan pangan telah meningkat selama dekade terakhir, terutama di negara-negara dengan penggunaan antibiotik yang luas pada peternakan.

Campylobacter spp. sangat resisten terhadap antibiotik beta-laktam. Campylobacter strain yang menghasilkan beta-laktamase lebih resisten terhadap lebih rentan terhadap ticarcillin, amoksisilin, dan ampisilin dibandingkan strain beta-laktamase-negatif. Resistensi antimikroba menimbulkan tambahan risiko nasional karena infeksi oleh resisten antibiotik Campylobacter menyebabkan rawat inap lebih lama, lebih tinggi tingkat kegagalan pengobatan, dan peningkatan morbiditas dan kematian.

Di Indonesia, informasi mengenai resistensi antimikrobial pada C. jejuni terbatas; oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki fenotipik dan genotip (blaOXA-61) resistensi beta-laktam di C. jejuni dari ayam pedaging. Uji kerentanan antimikroba digunakan untuk deteksi fenotipe, dan reaksi berantai polimerase (PCR) untuk blaOXA-61 digunakan untuk deteksi genotipe.

Berdasarkan uji kerentanan antimikroba, Isolat C. jejuni mempunyai tingkat resistensi yang paling tinggi aztreonam 100% (23/23) dan tingkat resistensi yang lebih rendah menjadi ampisilin 73,9% (17/23). Namun, semuanya terisolasi (23/23) rentan terhadap amoksisilin-klavulanat asam. Pada penelitian ini seluruh isolat C. jejuni resisten menjadi aztreonam (100%), dan kebanyakan C. jejuni adalah resisten terhadap ampisilin (74%), yang merupakan obat yang paling umum sering menggunakan antibiotik pada unggas.

Penelitian ini fokus pada penemuan gen (blaOXA-61) di C. jejuni, gen yang baru ditemukan di Indonesia. Reaksi berantai polimerase mendeteksi gen blaOXA-61 ada di semua C. jejuni isolat. Enam isolat C. jejuni yang dicurigai rentan terhadap ampisilin juga membawa gen blaOXA-61. Kebanyakan strain C. jejuni dapat menghasilkan beta-laktamase, yang menonaktifkan beta-laktam dengan menghidrolisis cincin betalaktam.

Dalam penelitian ini, semua isolat C. jejuni resisten terhadap aztreonam dan secara genotipaktif memiliki gen blaOXA-61, yang menunjukkan korelasi yang kuat antara keduanya. Investigasi molekuler resistensi antimikroba pada isolat yang diuji menunjukkan korelasi yang kuat antara fenotipe resistensi antibiotik dan genotipe dan mutasi yang mengkode resistensi antibiotik.

Di dalam penelitian ini, semua isolat yang resisten secara fenotip terhadap ampisilin dideteksi oleh gen blaOXA-61, yang mengkodekan resistensi antimikroba terhadap beta-laktam. Dimiliki oleh 6 isolat C. jejuni yang peka terhadap ampisilin gen ini. Hasil kami didukung oleh laporan di dimana 59% isolat yang peka terhadap ampisilin, menunjukkan bahwa blaOXA-61 tidak terbentuk diekspresikan dalam isolat yang rentan terhadap ampisilin, dan lebih sedikit beta-laktamase yang diproduksi dibandingkan dengan isolat resisten. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya hubungan antara kerentanan ampisilin dan kehadiran transversi GT di promotor blaOXA-61, hanya isolat yang resisten terhadap ampisilin yang memiliki transversi GT. Alfredson dan Korolik membuktikan bahwa blaOXA-61 pada isolat C. jejuni yang resisten terhadap ampisilin dengan transversi GT. Sebuah studi skala besar diperlukan untuk mengetahui hal ini mengevaluasi hubungan antara transversi GT dan resistensi beta-laktam yang dimediasi

Dalam penelitian ini, semua isolat C. jejuni yang rentan terhadap amoksisilin-asam klavulanat yang membawa blaOXA-61, menunjukkan bahwa kombinasi ini sangat menghambat beta-laktamase dan dapat digunakan sebagai alternatif untuk fluoroquinolone, tetrasiklin, dan eritromisin, yang mana C. jejuni resisten terhadap. Di C. jejuni, ekspresi beta-laktamase, yang menyebabkan resistensi terhadap amoksisilin, ampisilin, dan ticarcillin, dan bisa dihambat dengan tazobactam, asam klavulanat, dan sulbaktam.

Resistensi antimikroba pada mikroorganisme patogen, khususnya C. jejuni, merupakan tantangan kesehatan global. Resistensi antimikroba pada bakteri dapat dipicu oleh penggunaan antibiotik yang berlebihan oleh manusia, penggunaan antibiotik pada pakan hewan atau perawatan hewan, dan peningkatan limbah industri. Bakteri resistensi terhadap antimikroba telah berkembang dalam berbagai bentuk yang dalam kebanyakan situasi, bakteri yang terpapar antibiotik menemukan cara untuk menghindari atau menolak agen antimikroba.

Hasil kami menunjukkan bahwa C. jejuni memiliki resistensi yang tinggi terhadap beta-laktam dan merupakan ancaman serius bagi kesehatan manusia. Resistensi beta-laktam harus dipantau karena gen beta-laktamase dapat ditransfer antar bakteri. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pemanfaatan antibiotik secara rasional pada manusia dan hewan harus ditingkatkan. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami resistensi antibiotik dan mengembangkan media diagnostik untuk Campylobacter spp. Sejauh pengetahuan kami, ini adalah studi pertama yang mengidentifikasi beta-laktam secara genotip resistensi C. jejuni pada unggas Indonesia. Ditemukan pentingnya pengawasan dan sistem pemantauan dan analisis risiko C. jejuni sebelumnya penyakit dan resistensi antibiotic pada unggas dan pakan ternak lainnya.

Penulis korespondensi: Prof. Dr. Mustofa Helmi Effendi, drh., DTAPH

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

Yanestria SM, Effendi MH, Tyasningsih W, Mariyono M, and Ugbo EN (2023) First report of phenotypic and genotypic (blaOXA-61) beta-lactam resistance in Campylobacter jejuni from broilers in Indonesia, Veterinary World, 16(11): 2210–2216

doi: www.doi.org/10.14202/vetworld.2023.2210-2216