Seiring dengan pertumbuhan industri tekstil dan pakaian di Indonesia, penggunaan zat pewarna tekstil sintetis juga semakin meningkat. Industri tekstil cenderung menggunakan pewarna sintetis dibandingkan pewarna alami karena selain lebih praktis dan ekonomis, pewarna sintetis memberikan spektrum warna yang luas dengan intensitas warna yang tinggi. Hal ini memicu peningkatan limbah pewarna tekstil yang berasal dari proses pewarnaan di industri. Salah satu limbah utama yang dihasilkan industri tekstil adalah limbah zat pewarna azo seperti metil merah dan metil jingga (methyl orange). Limbah pewarna azo tersebut sulit terurai melalui proses biologi serta bersifat mutagenik dan karsinogenik. Melimpahnya limbah pewarna azo yang dihasilkan tersebut tentunya dapat menyebabkan dampak negatif bagi lingkungan dan manusia.
Banyak usaha telah dilakukan untuk mengurangi limbah pewarna azo tersebut seperti proses degradasi melalui metode Advanced Oxidation Processes, fotokatalitik dengan material fotokatalis seperti TiO2, reagen Fenton maupun zeolit serta melalui degradasi secara elektrokimia. Selain itu metode adsorpsi (penyerapan di permukaan suatu zat) maupun absorpsi (penyerapan sampai di bawah permukaan suatu zat) diyakini dapat mengurangi limbah pewarna azo di lingkungan. Akan tetapi, usaha tersebut hanya terfokus untuk pengurangan jumlah limbahnya saja tanpa ada usaha untuk memanfaatkan limbah tersebut. Padahal jika ditinjau dari strukturnya, gugus azo (-N=N-) yang dimiliki pewarna azo merupakan gugus kromofor yang sensitif terhadap cahaya dan dapat berfungsi sebagai penangkap foton dari cahaya matahari.
Disisi lain, salah satu teknologi sel surya yang potensial untuk dikembangkan karena mudah dimodifikasi dan difabrikasi adalah sel surya dengan pewarna tersensitasi Dye Sensitized Solar Cell yang disingkat DSSC. Komponen utama dari teknologi DSSC ini adalah kaca konduktif sebagai badan sel surya, semikonduktor, pewarna (dye), larutan elektrolit serta elektroda pembanding (counter electrode). Komponen penting yang sangat berpengaruh pada kinerja sel surya tersebut adalah pewarna yang berfungsi sebagai sensitizer cahaya dan dikenal dengan istilah dye sensitizer. Dye sensitizer inilah yang bertugas memanen cahaya (energi foton) dari sinar matahari yang selanjutnya disalurkan ke teknologi DSSC untuk dikonversi menjadi energi listrik. Oleh karena itu dye sensitizer pada DSSC juga dikenal sebagai light harvester (pemanen cahaya).
Dalam penelitian ini telah berhasil dimanfaatkan senyawa metil jingga (methyl orange) sebagai light harvester pada DSSC. Senyawa metil jingga sangat berpotensi sebagai light harvester karena memiliki gugus azo yang sensitif terhadap cahaya dan dapat menangkap cahaya matahari. Sel DSSC dengan metil jingga sebagai light harvesternya menghasilkan efisiensi sebesar 0,756 % sedangkan modifikasi metil jingga menggunakan ion logam besi menghasilkan nilai efisiensi sebesar 1,137 %. Nilai efisiensi tersebut dihasilkan dari sel DSSC berdimensi 2 x 2 cm. Meskipun nilai efisiensi yang dihasilkan ini masih relatif kecil, akan tetapi limbah metil jingga ini memiliki potensi sebagai komponen teknologi sumber energi terbarukan. Melalui proses optimasi dimensi sel surya dan komponen DSSC lainnya dipastikan dapat meningkatkan nilai efisiensi sel surya tersebut.
Penulis: Harsasi Setyawati, S.Si., M.Si
Grup riset Material Anorganik
Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Harsasi Setyawati, Muhamad Saiful Hadi, Handoko Darmokoesoemo, Irmina Kris Murwani, Ahmadi Jaya Permana, Faidur Rochman, “Modification of Methyl Orange dye as a light harvester on solar cell”. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 456 (2020) 012010 IOP Publishing. Link: https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/456/1/012010