UNAIR NEWS – Membahas diskursus mengenai hak asasi manusia selalu menjadi topik yang sangat menarik. Hak asasi manusia memiliki banyak keterkaitan dengan banyak topik lain, seperti demokrasi dan keadilan sosial.
Kesulitan akses bagi kelompok minoritas di Indonesia untuk mengakses keadilan sosial tidak terlepas dari keterkaitannya dengan hak asasi manusia. Akses merupakan salah satu hak asasi yang seharusnya terpenuhi oleh seluruh warga negara, tidak terkecuali kelompok minoritas.
Pradnya Wicaksana, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga angkatan 2019, mengungka persoalan tersebut dalam papernya yang berjudul “Centralization, Racism, and Militarization: A Portrait of Autocratic Legalism in Papua”. Paper tersebut ia submit dalam rangka mengikuti International Postgraduate Student Conference (INGRACE) 2023, konferensi internasional Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada.

Merealisasikan Ide Lama
Anya, sapaan akrabnya, melalui wawancara dengan UNAIR NEWS pada Sabtu (18/2/2023), menceritakan pengalamannya selama mengikuti konferensi pada 9 – 11 Februari 2023. Ia mengatakan hal itu merupakan konferensi pertamanya. Kendati begitu, Anya sudah berencana untuk menulis tema papernya sejak September tahun lalu.
“Menulis papernya cuma satu minggu lebih, tapi idenya sudah ada dari September. Sulitnya harus membagi waktu untuk menulis paper dan persiapan yudisium,” tuturnya.
Menurut Anya, konferensi tersebut merupakan hal yang sangat berkesan karena menjadi salah seorang peserta termuda. Para peserta lain, ujar Anya, kebanyakan adalah mahasiswa S2, praktisi, akademisi, aktivis, dan profesional lain di bidang hak asasi manusia, demokrasi, serta keadilan sosial.
“Sangat berkesan karena saya bisa berdiskusi dengan para profesional, mendapatkan insight baru. Selain itu, seminarnya juga seru karena mengundang Ketua Komnas HAM, Hakim Mahkamah Konstitusi, Ketua Komnas Perempuan, dan banyak lagi,” ceritanya.
Hukum dan Kaitannya dengan Aspek Lain
Konferensi bertajuk “Legal Challenges and Opportunities in the Field of Human Rights, Democracy, and Social Justice in the Post-pandemic Era” itu memperluas pandangan Anya tentang ilmu hukum interdisipliner. Konferensi tersebut, jelasnya, memberikan wawasan bagi para pegiat hukum bahwa perlu ada aspek non-hukum dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan sosial.
“Kita harus bahas juga dari aspek budaya, politik, antropologi, sosiologi, dan lain-lain,” paparnya.

Fokus Bahas Papua
Dalam papernya, Anya mengutarakan pendapatnya tentang autocratic legalism di Papua. Autocratic legalism yaitu fenomena di mana penegakan hukum diarahkan untuk memperbesar kekuatan eksekutif dan menghapus akuntabilitas yang dapat mengarah pada rezim otoriter.
“Pada 2019, ada insiden rasisme terhadap mahasiswa Papua yang terjadi di Surabaya, sehingga terjadi kerusuhan besar-besaran di Papua. Hal ini juga didorong oleh faktor ketimpangan struktural, akibatnya rakyat Papua meminta referendum,” terang Anya.
Namun, sambung Anya, pemerintah pusat menangani permasalahan tersebut dengan intervensi yang tidak perlu dan cenderung sentralisasi. Selain itu, lanjutnya, penegakan hukumnya juga mengutamakan militerisasi dengan operasi militer ilegal.
“Autocratic legalism ini merupakan manifestasi yuridis dari kepentingan-kepentingan politik oligarki di Indonesia, khususnya di Papua,” tukas Anya. (*)
Penulis: Dewi Yugi Arti
Editor: Feri Fenoria