Universitas Airlangga Official Website

Mahasiswa UNAIR Angkat Menyama Braya, Redam Stigma Infertilitas Lewat Kearifan Lokal Bali

Potret Tim PKM RSH UNAIR Lolos Pendanaan Andina Safa Amanta (kiri), Dona Vabella Avigetaria (kiri tengah), Aditya Salim Ahnaf (tengah), Regista Rizki Sulistiyawati (kanan tengah), dan Rumaisya Milhan (kanan). (Foto Istimewa)
Potret Tim PKM RSH UNAIR Lolos Pendanaan Andina Safa Amanta (kiri), Dona Vabella Avigetaria (kiri tengah), Aditya Salim Ahnaf (tengah), Regista Rizki Sulistiyawati (kanan tengah), dan Rumaisya Milhan (kanan). (Foto Istimewa)

UNAIR NEWS – Sebagai wujud kontribusi terhadap isu kesehatan mental dan budaya lokal, tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) Universitas Airlangga (UNAIR) berhasil lolos pendanaan tahun 2025. Risetnya berjudul Budaya Menyama Braya sebagai Solusi untuk Meningkatkan Kondisi Psikososial Wanita Infertil yang Menganut Kepercayaan Punarbhawa di Bali.

Tim di bawah bimbingan Putu Aditya Ferdian Ariawantara SIP MKP yang terdiri dari Aditya Salim Ahnaf (Antropologi 2022), Rumaisya Milhan, Andina Safa Amanta, Dona Vabella Avigetaria, dan Regista Rizki Sulistiyawati (Psikologi 2022) mengangkat tema kolaboratif lintas bidang antara antropologi dan psikologi.

Penelitian ini berangkat dari keprihatinan atas tekanan psikososial yang dialami perempuan infertil di Bali, terutama yang menganut kepercayaan Punarbhawa atau reinkarnasi dalam satu garis keturunan. Dalam budaya ini, memiliki anak dianggap penting untuk keberlanjutan punarbhawa dari jiwa leluhur untuk mencapai moksa.

“Situasi ini menjadi rentan secara psikososial, apalagi ketika tekanan dari keluarga besar terus berdatangan,” ujar Rumaisya. Untuk itu, tim merancang pendekatan intervensi psikologis berbasis kearifan lokal Menyama Braya, yakni nilai kekeluargaan khas Bali yang mengedepankan rasa kasih, kebersamaan, dan saling mendukung antar sesama.

Dalam proses pengembangan ide, tim melakukan penguatan pendekatan lintas disiplin antara psikologi dan antropologi. Perspektif psikologi digunakan untuk merancang intervensi berbasis support group dan family therapy, sementara antropologi memperkaya riset dari aspek kultural dan nilai-nilai lokal.

“Kami merasa ide ini jauh lebih kuat ketika digarap bersama lintas bidang. Teman dari antropologi membantu memperdalam sisi budaya, sementara kami dari psikologi mengarahkan pada intervensi yang tepat sasaran,” terang Dona.

Riset ini diharapkan mampu memberikan pemahaman baru terhadap pentingnya intervensi berbasis kearifan lokal untuk masalah kesehatan mental. Dalam jangka panjang, hasil riset ini akan dikembangkan ke dalam publikasi ilmiah, artikel populer, atau produk kreatif seperti zine dan podcast edukatif.

“Kami ingin menjadikan Menyama Braya bukan hanya konsep budaya, tapi juga sebagai pendekatan nyata untuk menciptakan ruang aman dan penuh kasih bagi perempuan yang kerap distigma,” jelas Aditya.

Melalui riset ini, tim PKM UNAIR ingin menunjukkan bahwa kasih sayang dan empati adalah pondasi penting dalam menghadapi stigma sosial. Ketika budaya lokal digali dan dijadikan bagian dari solusi, maka intervensi pun bisa berjalan lebih efektif dan berkelanjutan. Semangat gotong royong dan penerimaan dalam Menyama Braya menjadi pesan kunci riset ini untuk masyarakat luas.(*)

Penulis: Nafiesa Zahra

Editor: Khefti Al Mawalia