Artikel ini mengeksplorasi bagaimana agama dijadikan manipulasi untuk dasar pembenaran praktik pernikahan di bawah umur di Indonesia. Perkawinan di bawah umur telah menjadi praktik yang semakin umum di Indonesia, praktik perkawinan di bawah umur telah dilegitimasi melalui naskh dan dibenarkan sebagai pencegahan praktik-praktik menyimpang seperti zina. Namun, pada saat yang sama, risiko yang ditanggung oleh pasangan di bawah umur diabaikan. Perkawinan di bawah umur secara signifikan dan merugikan mempengaruhi kesehatan perempuan, dan angka kematian sangat tinggi di kalangan ibu muda (di bawah usia 20 tahun) serta anak-anak mereka. Artikel ini berupaya memberikan kontribusi literatur dengan menyelidiki bagaimana naskh digunakan di kalangan umat Islam Indonesia untuk membenarkan pernikahan di bawah umur. hal ini berusaha untuk memahami mengapa agama digunakan untuk membenarkan pernikahan di bawah umur, meskipun praktik tersebut merugikan mereka yang terlibat (terutama perempuan) dan mengancam kesejahteraan mereka.
Secara lebih khusus, artikel ini mengkaji tiga unsur penting dari praktik perkawinan di bawah umur di kalangan umat Islam Indonesia. Pertama, penggunaan naskh untuk melegitimasi praktik perkawinan tertentu; Hal ini erat kaitannya dengan kesalahpahaman masyarakat terhadap ajaran Islam tentang pernikahan. Kedua, pemahaman masyarakat Muslim tentang ‘taat’ dalam konteks doktrin agama, termasuk keyakinan bahwa menikah adalah sarana pencegah godaan dan perilaku dosa. Ketiga, legitimasi praktik keagamaan oleh pemerintah. Artikel ini berangkat dari argumentasi bahwa pembenaran pernikahan di bawah umur melalui rujukan agama (dalil) berakar dari kesalahpahaman terhadap rujukan tersebut dan praktik naskh itu sendiri. Meskipun menimbulkan risiko yang signifikan bagi para pesertanya, pernikahan di bawah umur telah direstui oleh pemahaman sebagian dan tekstual umat Islam tentang ajaran agama dan dibenarkan oleh tradisi dan budaya. Dengan demikian, sambil mengembangkan solusi komprehensif dan integral untuk pernikahan di bawah umur, perlu juga untuk menantang pemahaman dan pandangan yang salah dari para pemimpin agama tentang praktik tersebut.
Palembang, Sumatera Selatan adalah lokus yang dipilih dalam pembahasan artikel ini. Palembang memiliki prevalensi perkawinan di bawah umur tertinggi di Indonesia. Masyarakat Palembang sangat bercirikan agama Islam, serta ketaatan pada tradisi; kekuatan iman Islam mereka terbukti tidak hanya dalam praktik sehari-hari, tetapi juga dalam pakaian mereka. Masyarakat Palembang memiliki ikatan sejarah yang mendalam dengan berbagai budaya yang semuanya mempengaruhi praktik mereka. Hal tersebut adalah beberapa alasan artikel ini memilih lokus di Palembang, Sumatera Selatan. Landasan agama seperti Al-Quran dijadikan acuan untuk melegalkan pernikahan dini, akan tetapi juga banyak aktor di daerah Sumatera Selatan yang menjelaskan bahwa tidak disebutkan secara spesifik tentang batasan umur seseorang untuk menikah. seperti yang dijelaskan oleh ketua majelis ulama indonesia sumatera selatan, bahwa tidak ada ayat Al-Qur’an atau Hadist yang menetapkan usia tertentu untuk menikah. akan tetapi pada saat yang sama juga tidak ada teks yag melarang penikahan di bawah umur selama kriteria baligh terpenuhi maka dari itu seseorang diperbolehkan untuk menikah. Dari ketua majelis ulama indonesia cabang palembang juga menjelaskan bahwa “Selain Alquran dan Hadits yang tidak secara tegas menyebutkan usia yang baik untuk menikah, praktik Nabi Muhammad dan para sahabatnya juga menunjukkan bahwa pernikahan dini diperbolehkan. Dengan demikian, pelarangan itu melanggar ajaran agama. sedangkan tokoh masyarakat Muhammadiyah Sumel berpendapat pengertian pernikahan dalam Al-Qur’an dan Hadits memiliki tujuan yang sama. Pernikahan merupakan tindakan preventif. Dikhawatirkan, jika pasangan tidak menikah, meski masih muda, mereka akan melakukan zina. camat Sematang Borang mengakui bahwa perkawinan di bawah umur sering terjadi di desanya “Kesulitan mencegah perkawinan di bawah umur adalah tidak secara tegas dilarang oleh hukum agama, padahal sudah jelas diatur oleh Negara. Pemerintah melalui Undang-Undang Perkawinannya telah menetapkan usia minimum yang tegas untuk menikah. Dalam praktiknya, namun, banyak pernikahan di bawah umur yang disahkan ketika pasangan menerima dispensasi dari Pengadilan Agama atau memasuki pernikahan yang tidak dicatatkan (pernikahan siri). Akibatnya aturan yang diberikan oleh undang-undang sering diabaikan”
Tiga elemen ditemukan berkontribusi pada penggunaan agama untuk melegitimasi dan membenarkan pernikahan di bawah umur. Pertama, karena tingkat literasi hukum yang rendah, masyarakat rentan terhadap wacana dan praktik yang melanggar hukum. Dengan kata lain, karena kuatnya wacana publik yang mendukung pernikahan di bawah umur, maka ilegalitas praktik tersebut tidak diakui. Kedua, dualisme hukum menjadi masalah, baik dalam penafsiran maupun implementasinya. Meskipun usia minimum yang sah untuk menikah dapat mempengaruhi hakim untuk tidak memberikan dispensasi bagi pasangan muda, hal itu juga memengaruhi keputusan mereka untuk menyarankan pernikahan yang tidak tercatat sebagai solusi. Dengan kata lain, undang undang perkawinan belum mampu menghapuskan perkawinan di bawah umur, karena perkawinan di bawah umur masih ada dan dianggap sebagai legitimasi perkawinan di bawah umur. Ketiga, penggunaan agama untuk melegitimasi perkawinan di bawah umur juga dapat dikaitkan dengan kelemahan sosial dan intelektual masyarakat, yang berkontribusi pada keterlibatan mereka dalam kegiatan ilegal. Bagi banyak orang, agama dianggap sebagai satusatunya solusi yang mungkin untuk masalah yang dihadapi. Akibatnya, mereka sangat rentan terhadap manipulasi agama untuk menyelesaikan (bukan menghindari) masalah.
Eksplorasi ini menunjukkan bahwa praktik perkawinan di bawah umur harus disikapi melalui pendekatan multilevel yang mengakomodasi kebutuhan masyarakat dari berbagai usia dan posisi sosial. Bagi remaja, diperlukan program pendidikan yang mengembangkan literasi hukum sekaligus memberikan pembinaan moral. Program tersebut dapat diwujudkan dengan bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, melalui kegiatan bakti sosial. Pada tataran hukum/kelembagaan, perlu ditekankan pentingnya perlindungan anak sekaligus menyoroti aturan-aturan yang ada tentang perkawinan di bawah umur.58 Secara khusus, penelitian ini merekomendasikan agar perkawinan di bawah umur ditempatkan dalam kerangka yang lebih luas, yang tidak hanya mengenal hukumnya saja. statusnya dalam hukum agama, tetapi juga posisinya di dalam masyarakat muslim. Hanya dengan demikian pendekatan yang lebih harmonis dan manusiawi dapat diwujudkan dan dikembangkan.
Penulis: Qodariah Barkah, Cholidi Chalidi, Siti Rochmiyatun, Sulikah Asmorowati, Henky Fernando
Link Terkait: https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/samarah/article/view/13316