UNAIR NEWS – Di era informasi ini mendapatkan berita dapat dikategorikan cukup mudah. Banyak media yang memfasilitasi dalam pengelolaan berita khususnya media internet. Namun, kebenaran berita yang tersebar juga patut dipertanyakan keabsahannya. Pembaca harus memiliki pemahaman yang tinggi untuk membedakan antara berita dengan opini menggiring atau berita dengan keakuratan terkendali.
Mengenai hal tersebut, Kementerian Informasi dan Komunikasi BEM KM SIKIA UNAIR menggelar Sekolah Jurnalistik dengan tema Aktualisasi Peran Jurnalis Muda Guna Menjawab Ancaman Distorsi Informasi di Era Disrupsi. Acara tersebut digelar dengan tujuan memberikan pelatihan dasar jurnalistik sebagai wadah bagi civitas akademika maupun masyarakat yang memiliki minat dalam bidang jurnalistik.
Sekolah Jurnalistik tersebut menghadirkan Jaswanto selaku penulis, public speaker, serta tokoh pegiat literasi. Jaswanto menyampaikan bahwa terdapat beberapa masalah yang ditimbulkan dari sekian banyak media, degradasi wartawan, serta kualitas yang ada dalam dunia jurnalistik.
Menurut Jaswanto, setidaknya terdapat lima masalah yang timbul dari penulisan jurnalistik. Yaitu akurasi, keberimbangan, etika jurnalistik, pelanggaran hak cipta, serta bercampurnya opini dan berita.
Akurasi
Jaswanto menjelaskan, akurasi di sini berisi realita di lapangan terlihat nampak berbeda dari berita yang dipublikasikan oleh wartawan-wartawan yang kurang memiliki etika.
Keberimbangan
Keberimbangan yang dibahas mengarah pada banyaknya narasumber yang dikumpulkan untuk menyampaikan beberapa informasi. Maksudnya, antara koalisi dan oposisi harusnya terdapat keseimbangan. Namun seperti yang terlihat, media-media hanya memberitakan lebih besar salah satu dari kedua hal tersebut sesuai dengan kebutuhan banyaknya viewers yang didapatkan.
Etika Jurnalistik
Dikatakan Jaswanto bahwa saat ini banyak dijumpai etika jurnalis yang masih berada di luar batas. Kode jurnalistik ini seakan hanya dijadikan sebuah formalitas. Jaswanto menyebutkan, masih banyak jurnalis yang membuat berita tanpa mengedepankan etika yang ada. Contohnya, memasukkan opini dalam sebuah berita atau maraknya persebaran berita yang tidak benar di kalangan wartawan.
Pelanggaran Hak Cipta
Terlampau banyak wartawan yang bisa dikatakan malas, namun berita yang dihasilkan cukup banyak dan memuaskan. Hal tersebut disoroti Jaswanto bahwa terdapat beberapa jurnalis yang joinan dengan jurnalis lainnya. Mereka hanya mengubah beberapa kata dari penulis sebelumnya, seperti ‘ujarnya’, ‘katanya’, ‘ungkapnya’. Hal ini jelas-jelas merupakan pelanggaran hak cipta yang tetap dilaksanakan antar jurnalis.
Bercampurnya Opini dan Berita
Menurut Jaswanto, saat ini banyak pembaca bahkan penulis memiliki kemampuan yang rendah terhadap pembeda antara opini dan berita. Jaswanto menegaskan, sebuah opini tidak diperbolehkan masuk dalam straight news. Menurutnya, apabila berita yang diangkat berupa berita baku, sangat diharamkan untuk memasukan opini wartawan di dalamnya.
Di akhir pembahasan, Jaswanto menekankan bahwa pers yang berkualitas bisa didapat dari lingkungan yang berkesinambungan dengan lembaga-lembaga independen serta organisasi pers yang menampung wartawan.
“Jadi, apabila lingkungan mereka cukup baik untuk membentuk pers sesuai kode etik jurnalistik, secara tidak langsung pribadi pers yang awalnya enggan menulis fakta akan mulai terbiasa dengan lingkungan baik yang mereka pijaki,” ungkapnya.
Namun Jaswanto menambahkan, hal itu juga bergantung pada pribadi jurnalis. Apapun faktor yang diberikan, dorongan dari diri sendiri merupakan satu hal terpenting untuk mengubah sudut pandang jurnalis. (*)
Penulis : Azka Fauziya
Editor : Binti Q. Masruroh