Tanggal 2 s/d 4 Agustus saya bersama anggota Komite Audit UNAIR mengikuti rapat pleno Majelis Wali Amanat (MWA) UNAIR di Mandalika Lombok NTB. Dalam artikel ini saya tidak membicarakan hasil rapat pleno itu namun menceritakan kesan saya tentang kawasan Mandalika itu.
Seperti Masuk Dunia Lain
Saya sebagai orang asli Surabaya yang sekarang tinggal di kota Sidoarjo saban hari merasakan kemacetan yang luar biasa bila saya ke kampus UNAIR. Kabupaten Sidoarjo yang memiliki hampir 1.000 industri menengah dan berat itu jalan-jalan utamanya selalu macet karena dipenuhi oleh truk besar-besar milik pabrik-pabrik besar tersebut, ditambah ribuan sepeda motor, mobil pribadi yang merambat menuju kota Surabaya.
Hampir setiap hari saya menyaksikan sepeda motor yang berada disisi truk-truk besar itu saling berdempetan dan seringkali saya miris melihat ibu-ibu yang naik sepeda motor sambil membawa anak-anak kecil menuju sekolah dimana anak-anak itu berdiri di bagian depan sepeda motor, saya lebih miris melihat ibu-ibu yang menggoncengkan anaknya yang masih kecil dibelakang sepeda motor dan anaknya itu lagi ngantuk berat dengan posisi kepalanya yang miring.
Saya trauma melihat anak-anak kecil yang ditaruh didepan maupun belakang sepeda motor karena saya pernah menyaksikan sendiri didepan mobil saya seorang ibu muda dan kedua anaknya kecil tergeletak di jalan aspal karena sepeda motornya mengalami kecalakaan dengan mobil.
Saya juga sering merasakan kemacetan yang sangat tinggi di Jakarta berjam-jam kadang selama 4 jam an lebih ketika dihari week end berhenti dan merambat di jalan-jalan ibukota itu.
Dengan pengalaman pribadi sehari – hari menyaksikan kemacetan seperti itu lalu tiba di Bandara Internasional Lombok yang baru, bersih, indah dan dipenuhi wisatawan asing dan dalam negeri; saya seperti masuk mesin Time Tunnel atau Lorong Waktu dan tiba-tiba masuk ke dunia lain atau suatu tempat masa lalu. Hal itu karena sepanjang perjalanan dari Bandara ke hotel melewati Mandalika International Circuit selama 15 menit saya tidak menyaksikan banyak mobil atau sepeda motor diatas jalan yang mulus. Saya hanya melihat satu dua mobil yang berpapasan dengan mobil kami. Tidak ada orang lalu lalang di jalan itu. Sepi sekali – serasa masuk kawasan yang tidak berpenghuni. Jadinya mobil yang kami tumpangi itu serasa mobil satu-satunya yang ada di jalan.
Mandalika Seorang Putri Cantik
Seringkali seorang supir mobil sewaan itu merupakan nara sumber yang handal dalam menjelaskan berbagai isu dari soal pendapatnya tentang kondisi negara, ekonomi, agama dsb. Kali ini saya mendapatkan penjelasan dari sang supir tentang nama gelar bangsawan suku Sasak di NTB yaitu “Lalu” untuk laki-laki dan “Baiq” untuk perempuan. Kebetulan supir itu memperkenalkan namanya Lalu Martadinata yang merupakan keturunan keluarga bangsawan. Dia juga menceritakan kisah asal muasal nama Mandalika.
Nama ini begitu dikenang hingga menjadi bagian dari upacara adat tahunan bau nyale–kini juga menjadi festival pariwisata. Bau artinya menangkap, sedangkan nyale berarti cacing laut. Dalam legenda, cacing laut warna-warni yang bisa ditemui dalam lubang-lubang karang ini adalah jelmaan Putri Mandalika. Konon, cacing-cacing ini hanya muncul setiap tanggal 20 di bulan ke-10 dalam kalender tradisional Sasak (umumnya bulan Februari atau Maret), tepat di hari Putri Mandalika menghilang ditelan ombak.
Putri Mandalika adalah putri dari raja yang bernama Raden Panji Kusuma juga dikenal dengan sebutan Tonjeng Beru, memiliki istri bernama Dewi Seranting. Sang raja adalah pemimpin kerajaan Sekar Kuning yang menghadap Samudra Hindia. Putri Mandalika berparas cantik, anggun dan baik hati. Tak heran puluhan pangeran dari berbagai kerajaan di Lombok maupun diluar wilayah Lombok pada berebut untuk meminangnya. Putri Mandalika mendengarkan pertikaian para pangeran itu di ruang tunggu kerajaan karena berebut menjadikan putri Mandalika sebagai permaisuringa. Pertikaian itu memunculkan ancaman akan perang besar dimana pangeran dari kerajaan yang berhasil mempersunting putri Mandalika akan diserbu habis-habisan oleh kerajaan-kerajaan tempat para pengaran yang gagal mendapatkan Putri Mandalika.
Mendengar ancaman perang besar-besaran itu Putri Mandalika akhir mengatakan kepada seluruh pangeran bahwa dia menerima semua pinangan dan mengundang mereka diujung tebing ditepi deburan ombak Samudra Hindia. Disaksikan oleh kedua orang tuannya dan para pangeran dari berbagai kerajaan itu, putri Mandalika dengan busana dari sutra warna-warni yang dia kenakan, rambutnya panjang terurai dibawah mahkotanya Putri Mandalika mengatakan dengan lantang jika ia menerima semua pinangan para pangeran.
Putri Mandalika melanjutkan, katanya semua pangeran baik untuknya, tetapi para pangeran harus menjadi pemimpin yang lebih baik untuk rakyat, karena yang ia inginkan hanyalah kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, perang hanya membawa kesengsaraan bagi rakyat. Ia pun mengucap terima kasih atas pinangan dan kasih sayang semua orang padanya. Kemudian Putri Mandalika membalik badan menghadap ke samudra, lalu melompat ke lautan disambut ombak besar yang menelan tubuhnya. Sang putri mengorbankan dirinya demi rakyat, karena tak mau belasan pangeran yang melamarnya nekat berperang dan menyengsarakan rakyat.
Sang raja yang terkejut melihat putrinya ditelan ombak dan memerintahkan prajuritnya menemukan putrinya di samudra itu, namun Putri Mandalika hilang, dan mereka hanya menemukan cacing-cacing yang berwarna-warni sesuai dengan warna -warni busana yang dikenakan putri Mandalika. Sejak itu ada kepercayaan bahwa cacing-cacing yang berwarna-warni itu adalah titisan atau jelmaan Putri Mandalika.
Kisah yang menarik itu bukan saya dapat sebuah seminar elit di hotel-hotel elit pula, namun saya dapat dari “kuliah” gratis tentang sejarah dari supir mobil sewaan yang sopan dan baik hati.