Universitas Airlangga Official Website

Memahami Self Love dalam Batas Agama

Narasumber memulai menyampaikan materi, Ustaz Ismail Al – ‘Alam, dalam Kajian Ilmiah UKMKI pada Minggu (9/6/2023) (Foto: Shafa Aulia R, SS Zoom)
Narasumber memulai menyampaikan materi, Ustaz Ismail Al – ‘Alam, dalam Kajian Ilmiah UKMKI pada Minggu (9/6/2023) (Foto: Shafa Aulia R, SS Zoom)

UNAIR NEWS – Budaya digital memberikan kita banyak pandangan tentang realitas. Termasuk realitas diri seperti kampanye self love oleh korporasi, selebritas ataupun influencer, dan media populer. Budaya digital ini kemudian memberikan banyak pandangan termasuk mengenai self love yang di dalamnya sangat luas bentuk suatu realitas.

Untuk merefleksikan lebih jauh mengenai topik tersebut dan bagaimana batasannya dalam agama Islam, pada Minggu (9/7/2023) Divisi Kajian Strategis (Kastrat) Unit Kegiatan Mahasiswa Kerohanian Islam (UKMKI) Universitas Airlangga (UNAIR) menggelar kajian ilmiah bertema Hedonisme di Balik Self Love dan Self Reward: Mencintai dan Mengapresiasi Diri Sendiri dalam Batas-batas Agama. Kajian menghadirkan Ustaz Ismail Al – ‘Alam sebagai narasumber dan berlangsung secara online melalui aplikasi Zoom yang terbuka untuk umum.

Ismail mengawali pembahasan dengan mengutip pendapat tokoh Jeffrey Borenstein yang mengatakan bahwa self love adalah suatu keadaan penghargaan terhadap diri sendiri yang tumbuh dari tindakan yang mendukung pertumbuhan fisik, psikologis, dan spiritual. Dari definisi ini kemudian rumusan masalah yang menjadi pokok bahasan materi pembicara adalah bagaimana dampak kampanyenya terhadap pribadi seorang muslim.

Butuh Pemikiran yang Kokoh

Ismail menjelaskan, untuk memahami dampak self love perlu kerangka pemikiran yang kokoh mengenai tiga hal. Pertama memahami hakikat manusia dalam Islam (al insan). Kedua hakikat perbuatan manusia dalam Islam. Dan ketiga memahami self love lebih luas seperti dari sudut pandang kebudayaan kontemporer – hedonisme, etika individual, dan subjek neoliberal.

Dari kerangka pemikiran yang Ismail sebut, ia berpendapat bahwa sebenarnya self love dapat mengacaukan pengenalan atas hakikat diri. Kemudian, ketika kita tidak mengenal diri akan mengaburkan pengenalan kita kepada al khaliq. Ismail menyebutkan bahwa hakikat manusia dalam Islam adalah sebagai ‘alam, makhluq, ‘abd dan insan, yang tak lepas dari izin dan karunia Allah.

Ismail menyebutkan pula self love bukanlah ajaran Islam. “Apakah ajaran ini menyebutkan hakikat manusia, atau sekadar merujuk pada nafs (diri) yang terlepas dari ‘abd, makhluk, dan ruh? Karena wacana dan kampanyenva lahir dari tradisi Barat, ia berangkat dari antroposentrisme,” ungkap Ismail.

Selanjutnya Ismail menjelaskan bahwa self love juga mengacaukan pengenalan atas hakikat perbuatan. “Kampanyenya merespons kebiasaan menyalahkan diri sendiri sebagai suatu kegagalan di mata orang lain dan mendorong seseorang untuk menghargai dirinya. Yang bermasalah di sini adalah nilai-nilai komunitas yang menjadi dasar bagi afirmasi dan negasi perbuatan. Bukan tindakan menyalahkan diri sendiri,” jelas Ismail.

Ismail menambahkan bahwa sebenarnya seorang muslim diperintahkan untuk menjalani hidup sesuai syariat dimana terus memeriksa diri (muhasabah) atas perbuatan, termasuk menyalahkan diri jika melanggar syariat.

“Dalam Islam sudah disebutkan Allah itu maha pengasih dan penyayang kepada hambanya. Ketika kita mengenal diri menerapkan cinta Allah dan rasul sudah cukup untuk hidup yang bahagia dimana sesuai dengan fitrah berdasarkan iman yang benar, maka kita gak perlu lagi mengeksplisitkan cinta ke pada diri sendiri,” ungkap Ismail mengakhiri. (*)

Penulis: Shafa Aulia Ramadhani

Editor: Binti Q. Masruroh