UNAIR NEWS – Dunia akademik Indonesia kembali menyorot perbedaan komposisi publikasi penelitian yang tumpang tindih. Bahkan menurut Global Innovation Index 2024, talenta bidang riset dan inovasi mangkir di posisi ke-54 dari 123 negara. Jauh tertinggal dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Pakar UNAIR Prof Hery Purnobasuki Drs MSi PhD mengamini bahwa Indonesia terlalu berkiblat pada kuantitas tanpa memprioritaskan kualitas jurnal. “Kita memang harus realistis. Membangun kualitas tidak bisa instan. Perlu menggugah budaya menulis,” ujarnya saat diwawancarai.
Bagaimana Sistem Perankingan di Indonesia?
Sistem SINTA, memberikan skor untuk jurnal terindeks Scopus berlevel Q1 dan Q2 diberi skor 40, sedangkan level Q3 diberi nilai 35 skor, dan level Q4 diberi skor 30. Jika ingin kualitas, maka jurnal Q1 harus banyak. Selain publikasi di SINTA, ada proses prosiding dengan skor 15 melalui konferensi ilmiah dengan tingkat penyaringan tidak ketat.
Realitanya, banyaknya jurnal tidak semua berkualitas. Lantaran proses yang sulit dan memakan biaya yang tidak sedikit. Sehingga peneliti di Indonesia berburu mempublikasikan penelitian tanpa memperhitungkan proses peer review dengan baik.
Disamping itu, ada tanggungan tri dharma dosen untuk mengajar, meneliti, sekaligus mengabdi dalam waktu bersamaan. Akibatnya, beberapa dosen berujung melakukan praktik mengorbankan kualitas riset dan mencari jalan pintas mengejar skor SINTA agar dapat survive di pekerjaannya.
Solusi Berbasis Budaya Menulis
Menjawab keresahan itu, Prof Hary selaku Ketua Lembaga Inovasi, Pengembangan Jurnal, Penerbitan, dan HKI mengungkap demi menggenjot kualitas jurnal, ia dan tim rutin lakukan program UNAIR Menulis, UNAIR Writing Masterclass, hingga Kupas Sitasi. “Kita tidak hanya memberi insentif, tapi mendesain model prioritas dan program yang jelas. Misalnya, memberikan pendanaan disertai arahan pemanfaatan agar hasilnya lebih maksimal,” tambahnya.
UNAIR kini melahirkan lebih dari tiga ribu paper ilmiah per tahun. Untuk itu, bila ingin kualitas hingga menembus Scopus, perlu pendampingan dan kolaborasi yang lebih kuat. “Boleh saja kita bermimpi besar, tapi realitas lapangan harus dilihat. Kita bantu dosen mengolah paper agar sesuai standar mutu internasional,” ungkapnya.
Selain itu, penting membangun habit menulis secara konsisten. “Kalau habit-nya sudah terbentuk, tanpa disuruh pun dosen akan bergerak sendiri. Kuncinya, jangan memberikan tekanan yang berlebihan, tapi fokus pada pengembangan kapasitas secara bertahap,” ujarnya.
Langkah UNAIR Menuju Jurnal Berkualitas
UNAIR telah menunjukkan komitmen melalui 23 jurnalnya yang telah terakreditasi SINTA 1-5 dan 16 jurnal terindex Scopus. Program intensif seperti Scientific Writing Masterclass, Bootcamp Percepatan Indeks Buku Scopus menjadi bukti nyata ikhtiar itu. “Kita boleh optimis, tapi harus realistis. Yang penting adalah membangun kebiasaan menulis dan mengedepankan kualitas, bukan hanya mengejar angka,” pungkasnya.
Penulis: Sintya Alfafa
Editor: Khefti Al Mawalia