UNAIR NEWS – Elephant Herpesvirus mendominasi sebagai penyebab kematian misterius anak gajah di dunia konservasi. Yakni, Elephant Herpesvirus jenis Elephant endotheliotropic herpesviruses (EEHV) or Elephantid betaherpesvirus 1 (ElHV-1). Tingkat mortalitas pada anak gajah yang terinfeksi mencapai 80 persen kejadian.
Saat menajdi pemateri, Christopher Stremme DVM mengatakan anak gajah yang mati secara mendadak sebetulnya telah menunjukkan gejala. Beberapa symptom ringan yang harus menjadi perhatian adalah kekurangan nafsu makan dan inkoordinasi gerakan. Secara fisik anak gajah akan terlihat normal, padahal secara nyata virus tersebut telah merusak organ dalam anak gajah.
“Jika dilakukan pembedahan, kita dapat menemukan jantung, lambung, hingga otak telah rusak akibat mengalami hemoragi (pendarahan, red),” katanya.
Diagnosa Infeksi
Christopher mengungkapkan diagnosa pada anak gajah yang suspect adalah menggunakan PCR dengan spesifik primer. Bila gajah mengalami kematian, tim kesehatan hewan konservasi harus melakukan pemeriksaan forensik secara post mortem untuk mengetahui penyebab utama kematian. Post Mortem diambil sampel dari jaringan yang memiliki kelainan konsistensi maupun bentuk untuk pengecekan lebih lanjut.
“Sampel dapat disimpan dalam paling lama 6 bulan dalam suhu minus 20 derajat celcius, direndam alkohol 95 persen, maupun formalin 8-10 persen,” jelasnya.
Tindakan Perawatan
Anak gajah yang terkena Elephant Herpesvirus akan mengalami kekurangan cairan di dalam saluran darah. Upaya perawatan awal yang harus dilakukan adalah dengan mengisi volume cairan lewat intravena ataupun rektal menggunakan larutan NaCl fisiologis. Ditambah dengan terapi antiviral dengan penggunaan Famciclovir sesuai dosis.
“Penyebab kematian paling utama dari Elephant Herpesvirus karena kehilangan cairan dari pembuluh darah,” tuturnya.

Tindakan Perawatan
Belum ada vaksin yang efektif untuk Elephant Herpesvirus, sehingga dalam upaya konservasi gajah pawang maupun tim veteriner perlu melakukan pengecekan kesehatan secara berkala. Pengecekan auskultasi dapat dilakukan untuk anak gajah dibawah 1 ton, selebihnya dinding abdomen terlalu tebal untuk ditembus oleh stetoskop. Bagian penting lain yang dapat dilihat secara visual adalah pengecekan mulut.
“Minimal sekali seminggu mengecek lesi maupun ptechie dari mulut. Setiap auskultasi jantung dalam kondisi dan waktu yang sama lebih dari 1 ton dinding abdomen terlalu tebal,” ujarnya.
Pengecekan laboratorium sederhana yang harus rutin dilakukan adalah dengan reguler mengambil sampel darah untuk mengukur hematokrit. Jika indikator hematokrit naik maka cairan darah berkurang. Selain itu, bila ditemukan gejala sekecil apapun, tim konservasi maupun veteriner perlu waspada. Dugaan tersebut harus disikapi dengan tindakan pengobatan awal. Jangan menunggu hingga terjadi kebocoran pembuluh darah (hemorrhagic disease).
“Awas bila ada gejala ringan yang nampak. Kita juga harus sense jika anak gajah ada perubahan perilaku. Jangan ditunggu pengobatan saat parah karena perkembangan penyakit cepat dan tiap menit sangat berarti,” tutupnya.
Dalam Kuliah Umum IV (Wild) dari Kelompok Minat Profesi Veteriner Pet and Wild Animal (KMPV PW) Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Airlangga dengan bertemakan “Elephant Herpesvirus” yang diselenggarakan pada Rabu (6/9/2023). Kegiatan tersebut diikuti oleh berbagai mahasiswa kedokteran hewan dari jenjang sarjana hingga profesi melalui platform zoom meeting.
Penulis: Azhar Burhanudin
Editor Feri Fenoria