Djoko Santoso
Guru Besar Kedokteran Unair, Ketua Badan Kesehatan MUI Jatim
Sistem imun yang sehat berfungsi sebagai alat pertahanan tubuh terhadap masuknya zat asing atau infeksi mikroorganisme ke dalam tubuh manusia. Namun, pada kondisi tertentu, sistem imun dapat mengalami gangguan untuk mengenali dan membedakan musuh dengan sel manusia itu sendiri. Alih-alih menyerang benda asing yang menginvasi tubuh manusia, sistem imun yang bermasalah justru dapat menghasilkan antibodi untuk menyerang sel, jaringan dan organ tubuh manusia yang sehat. Kondisi inilah yang disebut sebagai penyakit autoimun. Penyakit autoimun adalah salah satu masalah kesehatan global yang jumlah pasti penderitanya masih belum diketahui, namun diperkirakan jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Data dari National Institute of Health di Amerika Serikat (AS) melaporkan bahwa lebih dari 20 juta orang di AS (atau sekitar 7 persen dari total populasi) mengidap penyakit autoimun (https://www.gene.com/stories/autoimmune-disease-101). Beberapa penyakit autoimun dialami lebih sering oleh wanita dan jumlahnya diperkirakan mencapai 75% dari total keseluruhan jumlah pasien. Beberapa ras dan etnik tertentu, seperti halnya Asia, Afrika Amerika, Hispanik dan Amerika asli, juga disebutkan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita penyakit autoimun. Sampai saat ini, ada lebih dari 80 jenis penyakit autoimun yang menyerang berbagai organ di tubuh manusia. Diantaranya adalah radang sendi rheumatoid (rheumatoid arthritis), psoriasis, penyakit kelenjar gondok (Grave’s disease) dan lupus.
Systemic Lupus Erythematosus (SLE atau Lupus) adalah penyakit autoimun yang dapat menyebabkan peradangan di seluruh tubuh, termasuk di persendian, kulit, pembuluh darah dan organ, seperti ginjal. Lebih dari 16.000 kasus baru Lupus dilaporkan setiap tahun di AS. Lupus paling sering menyerang wanita (9 dari 10 orang yang mengidap Lupus adalah wanita) dan hanya kurang lebih 10 persen pasien Lupus yang berjenis kelamin pria (https://www.hopkinsmedicine.org/health/conditions-and-diseases/lupus). Lupus paling sering menyerang selama usia reproduktif. Lupus juga lebih sering terjadi pada orang-orang dengan latar belakang Afrika atau Asia. Orang-orang dari etnik Afrika Amerika dan Asia Amerika sekitar 2 sampai 3 kali lebih rentan untuk menderita Lupus dibanding ras Kaukasian. Di Amerika Serikat, 1 dari setiap 250 wanita Afrika Amerika diperkirakan berpotensi menderita penyakit Lupus (https://www.niddk.nih.gov/health-information/kidney-disease/lupus-nephritis). Sampai saat ini, penyebab pasti penyakit Lupus belum diketahui, namun kombinasi genetika, hormon, infeksi, faktor lingkungan dan obat-obatan dianggap berkontribusi secara erat terhadap munculnya penyakit Lupus (https://www.hopkinsmedicine.org/health/ conditions-and-diseases/lupus).
Salah satu komplikasi penyakit Lupus yang perlu diwaspadai karena berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan yang serius adalah Lupus Nefritis. Lupus Nefritis terjadi ketika autoantibodi lupus merusak struktur jaringan di ginjal penderita yang berfungsi salah satunya untuk menyaring dan mengeluarkan zat racun dari dalam tubuh. Hal ini mengakibatkan timbulnya peradangan ginjal yang dapat menyebabkan ditemukannya darah dan protein dalam urin (yang pada kondisi normal seharusnya tidak didapatkan sama sekali atau hanya dalam jumlah yang sangat sedikit), tekanan darah tinggi, gangguan fungsi ginjal atau bahkan gagal ginjal. (https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/lupus-nephritis/symptoms-causes/syc-20354335). Pada orang dewasa yang menderita lupus, sebanyak 5 dari 10 pasien akan mengalami penyakit ginjal. Sementara itu, pada anak yang menderita lupus, 8 dari 10 pasien akan mengalami penyakit ginjal. Orang dari ras Afrika Amerika, Hispanik /Latin, dan Asia Amerika lebih mungkin untuk menderita Lupus Nefritis daripada Kaukasian. Lupus Nefritis juga lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita. Gejala dan tanda yang dapat dialami penderita Lupus Nefritis mencakup ditemukannya darah dan protein dalam urin, urin yang berbuih, tekanan darah tinggi, pembengkakan pada tungkai, kaki dan lengan, peningkatan kreatinin dalam darah. Selain itu, tanda-tanda penyakit Lupus, seperti halnya nyeri dan bengkak pada persendian, nyeri otot, demam dan ruam merah pada kulit, khususnya wajah (ruam kupu-kupu / malar), juga dapat ditemukan pada penderita Lupus Nefritis (https://www.niddk.nih.gov/health-information/kidney-disease/lupus-nephritis).
Secara histopatologis, Lupus Nefritis dapat dibagi menjadi beberapa kategori atau kelas: Kelas I (tahap mesangial minimal) ditandai dengan adanya kandungan protein dalam urin yang negatif atau minimal, kadar kreatinin yang masih dalam batas normal dan kerusakan struktur glomerulus ginjal yang masih minimal. Pada Kelas I telah didapatkan deposit kompleks imun yang dapat dideteksi dengan metode imunofluoresens. Kelas II (tahap mesangial proliferatif) ditandai dengan adanya darah dalam urin dengan atau tanpa disertai kandungan protein. Pada tahap ini, peningkatan tekanan darah dan gangguan fungsi ginjal masih jarang dijumpai. Pada Kelas II terdapat hiperselularitas mesangium dan ekspansi matriks mesangium dengan deposit kompleks imun yang dapat dideteksi dengan mikroskop cahaya. Kelas III (Lupus Nefritis fokal) ditandai dengan adanya darah dan protein dalam urin, peningkatan tekanan darah (hipertensi), penurunan fungsi ginjal (eGFR) dengan atau tanpa adanya sindroma nefrotik. Sedangkan Kelas IV (Lupus Nefritis difus) merupakan bentuk yang paling umum dan ditandai dengan adanya semua tanda Kelas III ditambah dengan rendahnya komplemen C3 dan tingginya hsDNA. Kelas V (nefropati membranosa) ditandai dengan adanya sindroma nefrotik dan gejala Kelas dibawahnya. Sedangkan Kelas VI (Lupus sklerosis tahap lanjut) ditandai dengan adanya gagal ginjal yang lambat namun progresif dengan ditemukannya protein dan sedimen pada urin (Inderjeeth dkk, MedicineToday, 2018; Pinheiro dkk, Braz. J. Nephrol, 2019).
Lupus Nefritis dapat dideteksi dengan pemeriksaan darah, urin dan biopsi ginjal. Melalui pemeriksaan darah, fungsi ginjal dapat dinilai melalui penghitungan nilai GFR. Melalui pemeriksaan urin, kadar darah dan protein dalam urin dapat diukur. Sedangkan pada pemeriksaan biopsi ginjal, sedikit jaringan ginjal akan diambil untuk diperiksa dibawah mikroskop. Pemeriksaan biopsi ini merupakan standar emas untuk mengkonfirmasi diagnosis Lupus Nefritis disamping juga mengidentifikasi Kelas / tahapan penyakit dan mengarahkan terapi. Sampai saat ini terapi penyakit Lupus meliputi upaya untuk mengurangi peradangan pada ginjal, menurunkan aktifitas sistem imun dan menghalangi sel imunitas sehingga tidak dapat menyerang struktur ginjal. Obat-obatan anti inflamasi / peradangan seperti kortikosteroid, maupun penekan sistem imun (imunosupresan) seperti cyclophosphamide, mycophenolate mofetil dan hydroxychloroquine dapat digunakan. Pada kasus Lupus Nefritis dengan peningkatan tekanan darah, obat-obatan penurun tekanan darah juga dapat dipertimbangkan. Sampai saat ini, 10 sampai 30% penderita Lupus Nefritis masih harus jatuh dalam kondisi gagal ginjal akibat pembentukan jaringan parut pada ginjal yang bersifat menetap (https://www.niddk.nih.gov/health-information/kidney-disease/lupus-nephritis). Oleh karenanya, perlu diingat bahwa deteksi dini Lupus Nefritis disertai dengan terapi yang adekuat dapat mengontrol penyakit ini sehingga tidak menimbulkan komplikasi lebih jauh seperti gagal ginjal, hemodialisis (cuci darah), Cangkok Ginjal dan bahkan kematian. Mari bersama-sama kita kenali Lupus Nefritis dan jaga kesehatan ginjal dari ancaman penyakit gagal ginjal kronis ini.