Universitas Airlangga Official Website

Mengenal Permasalahan Perubahan Iklim Dunia Beserta Dampaknya

Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Tata Mutasya SE MA (tengah), sedang memaparkan peta benua penghasil emisi terbesar di seluruh dunia dalam acara “Save Earth Soul (SES) : Climate Change and Its Danger!” yang diselenggarakan oleh Departemen Kajian Isu Strategis (Kastra) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Mahasiswa (KM) Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR) pada Sabtu (28/5/2022) Foto : tangkapan layar zoom meeting

UNAIR NEWS – Perubahan Iklim kini menjadi perbincangan hangat. Itu sejalan dengan kenaikan kerusakan lingkungan oleh manusia. Terlebih berkaitan dengan faktor ekonomi dan pemanfaatan sumber daya yang berlebihan.

Membahas itu, Departemen Kajian Isu Strategis (Kastra) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Mahasiswa (KM) Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR) menggelar acara Forum Diskusi 1.0 pada Sabtu (28/5/2022) via Zoom. Tema yang diusung adalah “Save Earth Soul (SES): Climate Change and Its Danger!”

Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Tata Mutasya SE MA menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan merupakan dampak yang wajar untuk melakukan pembangunan ekonomi. Namun, dalam perkembangan terakhir, telah ada pertemuan World Economy Forum yang juga dihadiri Indonesia. Mereka concern terhadap krisis iklim.

Kesepakatan Belum Tuntas

“Dengan perspektif ekonomi (forum tersebut, Red), ternyata anggapan mengorbankan lingkungan untuk pembangunan sekarang sudah tidak relevan lagi. Karena, jika memaksakan hal tersebut, kekeringan, bencana iklim yang semakin banyak, peningkatan suhu, akan berpengaruh pada bisnis,” ujarnya.

Pada saat bersamaan, negara-negara di dunia belum dapat menyepakati langkah konkret untuk dapat menghentikan krisis iklim yang kian buruk dibanding tahun-tahun sebelumnya. Berdasar laporan IPCC 2022 menyebutkan, lima hal tentang krisis iklim yang menegaskan bahwa keadaan iklim sudah jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Berdasar kesepakatan iklim global COP 26 di tahun 2021, lanjut Tata, perlu menjaga suhu tidak melampaui 1,5 derajat dan mengurangi penggunaan energi kotor batu bara. Namun, hanya 6 persen negara yang berkomitmen dan punya target yang jelas dan berambisi untuk zero emission.

“Dari hal tersebut, kita dapat menilai bahwa kita tidak akan survive jika kita tidak bisa menghentikan krisis iklim tepat waktu sampai 2030. Bukan soal lingkungan saja, dampaknya juga akan sangat besar terhadap manusia dan ekonomi,” tegasnya.

Posisi Indonesia dan Dampak Iklim

Berbicara mengenai posisi Indonesia, Tata berujar bahwa Indonesia mendapat urutan kelima penghasil krisis iklim di dunia dengan sektor energi menjadi penyumbang emisi terbesar. Dalam komitmennya, Indonesia merencanakan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 314 juta ton CO2 pada 2030. 

Namun, hal itu belum cukup untuk menghentikan krisis iklim. Terlebih lagi jika dibanding dengan negara lain.

Selanjutnya, Tata mengungkapkan beragam dampak krisis iklim. Di Indonesia, dampak yang paling terasa adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan, puting beliung. Lalu, dari sektor perekonomian, diprediksikan mengalami kerugian sebesar 40 triliun USD atau separuh PDB global berisiko terdampak krisis iklim.

“Dan, sektor pertanian di mana terdapat 30 juta warga dan 15 persen PDB akan berdampak,” imbuhnya.

Berkaca dari dampak tersebut, Tata menyebut kita sebagai negara Indonesia dapat mencari inovasi dan mencari alternatif energi agar dapat mengurangi krisis iklim. “Maka sebetulnya kunci dari Indonesia adalah bisa mengatasi dengan transisi energi fosil, seperti batubara minyak bumi ke energi bersih dan terbarukan,” tegasnya.

Penulis: Affan Fauzan

Editor: Feri Fenoria