UNAIR NEWS – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Airlangga (UNAIR) melalui Kementerian Hubungan Luar kembali mengusung serangkaian kegiatan pelatihan jurnalisme. Yakni, berupa webinar bertajuk ‘Seminar Intrinsic’ secara daring pada Sabtu (26/6/2021) dengan mengundang sejumlah praktisi media nasional.
Salah seorang narasumber itu adalah Rohman Budijanto yang juga selaku direktur Jawa Pos Institute of pro-otonom. Roy -sapaan akrabnya- secara keseluruhan memberikan materi terkait kode etik jurnalistik (KEJ).
Menurutnya, salah satu kode etik itu adalah soal profesionalisme. Hal itu seperti tertuang dalam UU 40/1999 tentang Pers. Dalam penjelasan tersebut terkandung makna bahwa pers nasional merupakan wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional.
“Karena itu, di sini ditegaskan (pers, Red) bebas dari campur tangan dan paksaan dari pihak manapun,” tegasnya.
“Dalam menimbang profesionalisme pers diberi kebebasan, tapi kebebasan yang bukan tanpa batas,” imbuhnya.
Lanjut Roy menjelaskan landasan/konstitusi yang digunakan sebagai profesionalisme pers yakni kode etik jurnalistik. Jurnalis memiliki hak berupa aspirasi untuk mengatur dirinya sendiri. Namun, kewenangan tersebut sangat besar sehingga dapat berbahaya bila tidak ada aturannya karena undang-undang pers masih sangat longgar. Karena itu, mereka mengembangkan sendiri kode etik jurnalistik.
“Jadi, sekalipun memiliki kewenangan yang sangat besar oleh UU, tapi orang-orang pers ini menyadari bahwa siapapun dapat menyalahgunakan profesi ini. Karena itu, mereka mengembangkan kode etik jurnalistik untuk mengatur dirinya sendiri,” ungkapnya.
Inti dari profesionalisme dari jurnalistik adalah cara yang digunakan untuk menaati kode etik dan keterampilan yang tinggi dalam memverifikasi dan mengumpulkan fakta. Roy memberi sedikit contoh, yakni semisal lulusan sarjana yang berasumsi memiliki keterampilan yang cukup untuk menjadi jurnalis. Namun, itu saja tidak cukup, harus disertai dengan ketaatan pada kode etik.
Dalam pasal 1 kode etik, Roy memaparkan bahwa wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Penggunaan ujaran yang kurang baik (nyinyir) pada berita juga termasuk bagian dari beritikad buruk. Ia menegaskan tidak ada media profesional yang akan melakukan hal tersebut. Akan tetapi hal tersebut masih bisa berlaku pada kondisi tertentu.
“Kecuali memang ada alasan yang kuat untuk kepentingan publik. Misalnya ada koruptor yang susah untuk ditangkap, sehingga terpaksa memberitakan agar cepat ditangkap,” tuturnya.
Selanjutnya pasal 2 kode etik jurnalistik, wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Makna profesional yang terkandung di dalamnya yaitu:
- menunjukkan identitas
- Menghormati hak privasi
- Tidak menyuap
- Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya
- Memberikan keterangan sumber foto dan ditampilkan secara berimbang
- Menghormati pengalaman traumatik narasumber
- Tidak melakukan plagiat
- Menggunakan cara-cara tertentu dalam melakukan investigasi untuk kepentingan publik
Pasal 3 kode etik jurnalistik menyatakan bahwa wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Roy kembali menjelaskan makna menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Kemudian berimbang yakni dilakukan dengan memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. Serta memberikan opini yang menghakimi/pendapat pribadi wartawan dan menerapkan asas praduga tak bersalah.
Roy juga memberikan pemaparan rinci terkait sikap profesional jurnalistik. Menurutnya seorang jurnalis yang profesional memiliki kemampuan yang excellent. Lanjut seorang jurnalis juga harus bersikap skeptis (tidak mudah percaya). Kemudian Roy mengungkapkan bahwa jurnalis yang hebat selalu melakukan verifikasi secara rinci dan terus meningkatkan kemampuan jurnalistiknya. Selain itu jurnalis profesional harus memiliki sikap selalu menjaga kepentingan publik dan bersikap etis.
“Menjaga kepentingan publik bahwa jurnalistik merupakan wakil suara publik, wakil nurani publik dan juga bersikap etis,” tutupnya. (*)
Penulis: Muhammad Ichwan Firmansyah
Editor: Feri Fenoria