UNAIR NEWS – Beberapa waktu lalu, istilah childfree atau keputusan untuk tidak memiliki anak tengah menjadi perbincangan hangat warganet. Hal tersebut lantaran pernyataan seorang influencer tanah air yang mengatakan pilihan childfree dapat menjadikan seseorang awet muda.
Menanggapi fenomena itu, Mety Tri Nurnuzulawati SPsi MSi Psikolog menyebut childfree sebagai solusi anti aging adalah mitos. Menurutnya, mencegah penuaan bukan dengan tidak memiliki anak, melainkan bisa melakukan perawatan kulit, menjaga pola tidur dan asupan makan, menghindari stres, serta olahraga.
“Penuaan adalah proses alami, bukan berarti orang yang tidak memiliki anak tidak bisa stres dan menua,” kata Mety dalam webinar Divisi Kajian dan Keprofesian Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (UNAIR), Sabtu (1/4/2023).
Empat Alasan Memilih Childfree
Lebih lanjut, ia menjelaskan ada empat alasan umum seseorang memilih childfree. Pertama, alasan ekonomi yang mana mempunyai anak akan menambah biaya hidup. Kedua, ketidaksiapan mental bahkan trauma masa kecil karena pola asuh dan pola hidup dalam keluarga yang toxic.
Ketiga, alasan personal yang menganggap anak sebagai beban dan penghambat kesuksesan karir baik bagi suami maupun istri. Keempat, bumi yang mengalami over populasi sehingga childree menjadi pilihan untuk menstabilkan jumlah penduduk.
Dalam sudut pandang psikologi, Mety menghubungkan fenomena childfree dengan tahap perkembangan psikososial generativitas versus stagnasi yang dikemukakan psikolog Erik Erikson. Ia menuturkan keputusan memiliki anak merupakan bentuk kontribusi diri untuk generasi selanjutnya atau disebut generativitas.
“Generativitas mengacu pada membuat kontribusi pada diri dan memberikan makna di dunia dengan merawat orang lain serta menciptakan dan mencapai hal-hal yang membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik,” jelas pemilik Your Mind Consulting itu.
Di sisi lain, ia menyebut seseorang yang memilih childfree ketika memasuki usia 40 hingga 65 tahun dapat berada dalam kondisi stagnasi yaitu kegagalan untuk menemukan cara dalam berkontribusi di masyarakat. Akibatnya, lanjut Mety, mereka merasa terputus dengan menarik diri dari komunitas maupun masyarakat secara keseluruhan.
Pada akhir, psikolog klinis tersebut menekankan keputusan childfree atau tidak menjadi topik krusial dalam hubungan suami istri. “Sebelum memutuskan untuk menikah, teman-teman bisa melakukan konseling pranikah kemudian parenting. Nah, kalau sudah terlambat, bisa melakukan konseling pernikahan karena ini sangat penting sebagai dasar sebuah pernikahan,” pungkas Mety.
Penulis: Sela Septi Dwi Arista
Editor: Nuri Hermawan