Universitas Airlangga Official Website

Menilik Komunitas Waria dan Bahasanya di Media Sosial

Jusmianti Garing selaku perwakilan Badan Riset dan Inovasi Nasional dalam Webinar “Bedah Tesis & Disertasi” pada Sabtu (09/23/2023). (Foto: Naufal Hilmi F)
Jusmianti Garing selaku perwakilan Badan Riset dan Inovasi Nasional dalam Webinar “Bedah Tesis & Disertasi” pada Sabtu (09/23/2023). (Foto: Naufal Hilmi F)

UNAIR NEWS – Isu tentang waria menjadi isu yang cukup kontroversial apabila kita membicarakan di negara yang menganut budaya ketimuran seperti Indonesia. Adanya konstruksi dan struktur sosial yang berbeda dengan budaya barat menimbulkan minimnya perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap hak kaum waria. Hal itu, membuat mereka lari dalam dunia virtual seperti sosial media guna menyuarakan aspirasi dan mencari teman–teman lainnya.

Melihat hal tersebut, Jusmianti Garing dari Badan Riset dan Inovasi Nasional membagikan pengalamannya meneliti kaum waria di sosial media Facebook. Menurutnya, facebook merupakan wadah bagi mereka untuk dapat mengekspresikan tuturan atau jargon yang mencirikan komunitas mereka. Terkadang sulit bagi orang awam untuk dapat memahami maksud dari kata tersebut.

Terbentuknya Bahasa Waria

Jargon atau penggunaan bahasa oleh komunitas waria ini merupakan salah satu bentuk keragaman bahasa yang ada dalam masyarakat kita. Pemilihan kata yang mereka gunakan juga dapat dibilang kreatif karena berasal dari plesetan bahasa yang sudah familiar dengan kita sebagai orang awam. 

“Sebagai contoh di lapangan mereka menggunakan kata astajim yang merupakan kependekan dari bahasa arab astaghfirullah, atau kata endes yang berarti enak dalam bahasa indonesia dan masih banyak lagi,” tuturnya dalam webinar Representasi Gender dalam Bahasa Sosial Media yang terselenggara pada Sabtu (23/9.2023).

Menurutnya, penggunaan bahasa waria terdengar tidak resmi dan jauh dari konteks bahasa yang ada. Hal tersebut memang terjadi karena komunikasi yang mereka jalin tidak dalam konteks resmi sehingga pemilihan katanya pun tidak formal. 

“Bahasa yang mereka gunakan ini bersifat rahasia. Artinya, hanya orang-orang dalam komunitas merekalah yang dapat memahaminya dan ini sudah mereka sepakati bersama. Kecuali ada usaha dan kemauan dari orang luar untuk belajar dan memahaminya,” tambahnya.

Membangun Solidaritas dan Komunitas 

Di tengah minimnya perhatian dari lingkungan sekitar terhadap kaum waria, sosial media seperti facebook hadir untuk menjadi wadah mereka berkumpul. “Media sosial menjadi wadah bagi mereka untuk dapat terhubung dengan komunitas mereka. Mereka dapat bergabung ke grup obrolan tersebut dan membahas isu-isu identitas gender mereka,” jelasnya. 

Dengan terciptanya ruang yang aman dan nyaman bagi mereka, menciptakan tagar-tagar yang dapat kita lihat seperti #WariaProud atau #Wariavisibility menunjukan dukungan dan solidaritas komunitas waria dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu yang mereka hadapi. Oleh karena itu dengan adanya komunitas ini menjadi unsur penting bagi kaum waria. Komunikasi yang mereka jalin dapat menjadi lebih terbuka karena tidak adanya diskriminasi atau kesalahpahaman yang berasal dari penggunaan bahasa.

Penulis: Naufal Hilmi F

Editor : Khefti Al Mawalia