UNAIR NEWS – Di bawah kepresidenan Jokowi, terlambung visi bahwa Indonesia harus memaksimalisasi potensi geografisnya sebagai poros maritim dunia. Namun merealisasikannya tidak mudah, perlu banyak sekali reformasi akbar dalam sektor maritim dan pelayaran, tak terkecuali di sektor regulasi. Dilatarbelakangi itu, FH UNAIR menggelar Konferensi Nasional Hukum Maritim dan Pelayaran untuk kali pertama pada Senin (29/8/2022). Sebelum konferensi mulai, terdapat plenary sessions yang mengundang tiga narasumber yang bergelut di sektor kelautan.
Narasumber pertama adalah Kabid Keselamatan Berlayar Syahbandar Tanjung Perak Capt. Miftakhul Hadi. Hadi memaparkan terkait tantangan yang dimiliki oleh kesyahbandaran (otoritas pelabuhan) dalam mengakomodir perkembangan pelayaran di Indonesia. Dipaparkan bahwa dalam Inpres 5/2020, Jokowi menginginkan adanya penataan ekosistem logistik di Indonesia di sektor pelayaran guna meningkatkan daya saing perekonomian nasional.
“Salah satunya adalah karena tumpang tindih regulasi terkait wewenang syahbandar dengan penjagaan laut dan pantai. Belum lagi, penataan ekosistem tidak dibarengi dengan sarana prasarana dan SDM yang memadai. Memang sulit untuk menemukan keseimbangan yang mumpuni antara hukum yang kaku dengan sifat bisnis yang luwes. Bila tidak, maka akan menjadi hambatan usaha,” ujar Hadi.
Narasumber kedua adalah Perwakilan dari Ketua Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Laksamana Madya E. Estu Prabowo. Estu mengatakan bahwa ada tiga tantangan pelayaran secara umum. Pertama adalah tantangan fiskal, dimana pelayaran nasional belum mendapatkan perlakuan yang setara dengan pelayaran asing. Tantangan kedua adalah minimnya dukungan moneter dari perbankan dan Lembaga Pendanaan untuk pengadaan kapal. Tantangan ketiga adalah penegakan hukum yang masih tumpang tindih, sehingga berdampak pada operasional kapal.
Narasumber ketiga adalah Guru Besar Hukum Internasional UNAIR Prof. Koesrianti, dimana ia membahas terkait International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code. Prof. Anti mengatakan ISPS Code merupakan amandemen dari International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS). Amandemen ini dibutuhkan guna meningkatkan keamanan maritim pasca rangkaian serangan teror yang dialami oleh Amerika Serikat, salah satunya adalah pengeboman USS Cole.
“ISPS mengatur tanggung jawab negara untuk menjamin keamanan pelabuhan dari bentuk-bentuk ancaman yang dapat mengancam perdagangan internasional. Ia juga mengatur terkait bagaimana implementasi tanggung jawab tersebut untuk mengatur perusahaan pelayaran dan awak kapal,” ujar Prof. Anti.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan