UNAIR NEWS – Dalam berbagai lapisan masyarakat, kita sering kali mengamati betapa pentingnya kesetaraan gender, dan dunia akademik bukanlah pengecualian. Perempuan telah memainkan peran penting dalam perkembangan pengetahuan dan pendidikan selama berabad-abad. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, terjadi perubahan signifikan dalam pandangan dan dukungan terhadap kesetaraan gender di dalam dunia akademik.
Minimnya perwakilan perempuan di posisi kepemimpinan hingga perbedaan upah antara perempuan dan laki-laki dalam dunia akademik, tantangan kesetaraan gender menjadi masalah yang patut diperhatikan. Melihat fenomena ini, Dr Liestianingsih Dwi Dayanti Dra M Si selaku dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga memberikan opininya lewat Seminar Nasional “LENTERA” yang terselenggara pada Kamis (09/11/2023).
Gender vs Sex
Memahami perbedaan antara gender dan seks adalah kunci untuk menghormati identitas dan pengalaman individu. Terlalu sering, orang menyamakan kedua konsep ini, yang dapat mengakibatkan diskriminasi dan ketidaksetaraan bagi individu yang merasa bahwa identitas gender mereka tidak sesuai dengan jenis kelamin biologis mereka. Pada kesempatan itu, Lies
mengatakan bahwa sex dibedakan menjadi tiga yaitu laki-laki, perempuan, dan hermafrodit. Hermafrodit ini adalah orang yang memiliki kelamin ganda, namun jumlahnya sangat sedikit sekali didunia.Tetapi kalau gender itu dipecah menjadi tiga konsep baru yaitu sifat maskulin, feminin, dan androgini.
“Sifat maskulin biasanya menempel pada laki-laki, sifat feminin yang biasa menempel pada perempuan, dan androgini yakni bisa melakukan kedua peran tersebut.” ungkapnya.
Dengan pemahaman tersebut, harapannya, masyarakat bisa lebih terbuka tentang adanya perbedaan itu di keluarga dan kolega. Langkah itu dapat menuntun kita menuju masyarakat yang lebih inklusif dan adil, yang mana setiap individu dihormati dan diberi kesempatan yang sama tak terkecuali dalam lingkup akademisi.
Tantangan Perempuan dalam Lingkup Akademisi
Menurutnya, salah satu tantangan utama yang dihadapi perempuan adalah minimnya perwakilan mereka di posisi kepemimpinan dalam lembaga-lembaga pendidikan dan institusi akademik. Meskipun perempuan mencapai tingkat pendidikan yang tinggi, mereka seringkali kurang diwakili di tingkat kepemimpinan, seperti menjadi dekan, rektor, atau profesor puncak.
“Jalan perempuan untuk menjadi pemimpin khususnya dalam lingkup akademisi rasanya seperti dipersulit. Pasti ada saja pembicaraan yang tidak menginginkan kaum wanita untuk menjadi pemimpin mereka. Seperti contoh rektor-rektor yang ada di Indonesia. Berapa rektor perempuan yang ada di Indonesia? Hanya segelintir saja. Padahal dalam lingkup pendidikan, perempuan memiliki persentase kelulusan yang sama dengan laki-laki,” tuturnya.
Dalam konteks seperti itu, ia mengaku masih banyak menemukan kondisi adanya ketidaksetaraan upah antara perempuan dan laki-laki dalam dunia akademik. Meskipun memiliki kualifikasi dan kinerja yang sama, perempuan seringkali mendapatkan gaji yang lebih rendah dibandingkan dengan rekan laki-laki mereka.
“Perempuan di dunia akademik juga menghadapi tantangan dalam menjuggling antara tuntutan pekerjaan dan peran sebagai ibu atau caregiver dalam keluarga. Kurangnya dukungan berbasis keluarga dan fleksibilitas dalam bekerja dapat menjadi hambatan dalam mencapai keseimbangan antara karier dan kehidupan pribadi,” paparnya.
Penulis: M. Naufal Hilmy
Editor: Khefti Al Mawalia