Universitas Airlangga Official Website

Menolak Lupa, FH UNAIR Bahas Pelanggaran HAM 65

Manunggal Kusuma Wardaya memantik kajian HRLS secara online pada Senin (3/10/2022). (Foto: Ghulam Phasa P).

UNAIR NEWS – Pelanggaran HAM yang terjadi tahun 1965 belum ditangani secara tuntas. Karenanya, Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga menggelar diskusi publik pada Senin (3/10/2022). Acara yang diprakarsai oleh Center of Human Right Law Studies (HRLS) itu mengundang Manunggal Kusuma Wardaya PhD, dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

Menurutnya, narasi G30S/PKI yang selama ini beredar di masyarakat bersifat one sided. Sedangkan, sisi lain G30S, genosida terduga simpatisan PKI yang terjadi setelahnya, kurang mendapat perhatian. Terlebih, pembunuhan massal terduga simpatisan PKI tersebut dilakukan tanpa proses peradilan.

“Yang menjadi narasi utama di negeri ini, yang diberikan secara kontinu di sekolah, adalah apa yang terjadi di Lubang buaya malam 1 Oktober,” terangnya. 

Pelanggaran HAM besar-besaran dari tahun 1965-1966 tersebut diselidiki oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Manunggal menyebutkan bahwa Komnas HAM memiliki wewenang untuk menyelidiki pelanggaran HAM berat.

“Komnas HAM sampai pada sebuah konklusi di mana (peristiwa, red) itu adalah crime against humanity.”

Akan tetapi, temuan Komnas HAM tersebut tidak segera ditindak lanjuti. Narasi tentang negara yang melakukan genosida terhadap terduga simpatisan PKI, juga tidak diajarkan di sekolah-sekolah. 

“Sampai sekarang tidak ada di buku pelajaran. Tidak ada di kurikulum soal sisi lain (G30S, red) yaitu kekerasan negara,” ujar pria kelahiran Surakarta tersebut.

Dampaknya, simpatisan PKI mendapatkan stigmatisasi dan diskriminasi. “Jadi PKI dimaknai stigma itu sebagai biang kejahatan, biang kebobrokan, amoral, kejam,” tutur penerima PhD dari Radboud Universiteit itu.

Pasca reformasi, Manunggal menyebutkan bahwa sudah pernah ada usaha dari negara untuk meminta maaf pada keturunan PKI. Presiden Abdurrahman Wahid juga pernah mengajukan pencabutan TAP MPRS yang melarang PKI. Akan tetapi, dirinya mengatakan bahwa secara umum tidak ada perubahan berarti.

“Secara umum tidak ada perubahan. Di kurikulum tetap sama, hanya satu sisi. Tidak pernah ada pengakuan (oleh negara, red),” jelasnya. Manunggal juga mengatakan bahwa tidak ada memorialisasi untuk korban bahwa negara pernah melakukan pelanggaran HAM. 

Lantas, apa yang bisa masyarakat lakukan? Manunggal menuturkan bahwa masyarakat harus menolak lupa dengan kejahatan HAM yang terjadi.

“Jangan sampai kita sebagai bangsa itu lupa,” imbuhnya.

Penulis: Ghulam Phasa P.
Editor: Khefti Al Mawalia