UNAIR NEWS – Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (UNAIR) kembali mengadakan webinar kelas entrepreneurship pada Sabtu (28/5/2022) dengan tema Dokterpreneurship dan Inovasi Medis. Webinar rutin setiap bulan tersebut merupakan salah satu bentuk kurikulum yang telah dikembangkan FK UNAIR tentang program pembelajaran entrepreneurship baik secara formal maupun informal.
Melalui sambutan yang disampaikan oleh Dekan FK UNAIR Prof Dr Budi Santoso dr SpOG(K), pendidikan kedokteran di era revolusi industri 4.0 dituntut untuk menyesuaikan dengan perkembangannya. Karenanya, FK UNAIR setiap satu bulan sekali mengundang para ahli untuk memberikan wawasan baru bagi mahasiswa.
“Termasuk acara-acara yang kita laksanakan setiap bulan sekali dengan mengundang orang-orang yang layak untuk ditampilkan dalam diskusi kita,” tuturnya.
Lebih lanjut, Prof Budi menuturkan bahwa kegiatan webinar ini merupakan salah satu langkah FK UNAIR untuk menyiapkan lulusan yang nantinya sudah siap menghadapi ASEAN Economic Community pada tahun 2025. “Jika kita tidak siap maka kita akan menjadi penonton,” tuturnya.
Selanjutnya dalam materi yang disampaikan, Prof Budi menilai revolusi industri 4.0 tidak hanya menjadi masalah sosial ekonomi tetapi juga masalah kesehatan. Ia mengatakan kultur di bidang kesehatan sudah berubah dengan adanya teknologi. Prof Budi menyebut, mata uang di bidang layanan kesehatan sekarang ini adalah big data.
“Siapa yang menguasai data tersebut dia lah yang bisa banyak berbicara di pelayanan kesehatan,” jelasnya.
Inovasi Bidang Medis
Terkait dengan inovasi medis, Prof Budi memberikan contoh alat robotic Davinci merupakan alat pertama di Indonesia yang dimiliki oleh rumah sakit Bunda. Hal itu dinilai oleh Prof Budi sebagai investasi yang turut menyemarakkan bahwa Indonesia tidak ketinggalan dalam pelayanan medis.
Kemudian, Prof Budi menjelaskan dengan adanya teknologi seorang anak bisa berasal dari tiga orang dalam satu pasangan. Hal itu bisa terjadi karena seorang istri yang mengalami penuaan ovarium atau cadangan oosit sudah habis sehingga perlu donor oosit. Lebih lanjut, Prof Budi menjelaskan karena adanya pertentangan mengenai donor oosit atau donor embrio tersebut maka muncullah inovasi hanya mitokondria dari oosit yang ditransferkan.
“Ini menarik sekali karena ada sebuah perkembangan teknologi yang sudah sedemikian rupa,” tuturnya.
Prof Budi mengungkapkan, apabila dulu seorang embriolog menyeleksi embrio mana yang akan ditanam dengan beberapa kriteria, sekarang dengan adanya teknologi dengan cepat dapat memilih embrio tersebut. Hal ini juga akan membuat angka kehamilan jauh lebih tinggi.
“Sekarang dengan menggunakan digital image processing machine, artificial intelligence, time-lapse morphokinetic machine sudah jauh lebih teliti sehingga angka kehamilannya akan jauh lebih tinggi lagi,” jelasnya. (*)
Penulis: Wiji Astutik
Editor: Binti Q. Masruroh