Universitas Airlangga Official Website

Menyoal Pemekaran Daerah Otonomi Baru di Tanah Papua: Mengapa Tergesa-gesa?

Potret Anggota MRP Benny Sweny saat memaparkan materi dalam Diskusi Kolaborasi Amnesty International Indonesia. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Amnesty International Indonesia (AII) Chapter UNAIR tergabung sebagai salah satu penyelenggara dalam suatu diskusi kolaborasi. Diskusi kolaborasi ini akan membedah terkait rencana pemekaran daerah otonomi baru (DOB) di Tanah Papua, dan keterkaitannya dengan hak asasi Orang Asli Papua (OAP). Diselenggarakan pada Senin sore (16/5/2022), diskusi kolaborasi ini diinisiasi oleh Chapter AII dari UNIPA dan Uncen.

Pemerintah dan DPR RI merencanakan bahwa di Tanah Papua akan dibuat tiga provinsi baru: Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan Tengah, dan Provinsi Papua Selatan. Dalih pemekaran tersebut adalah guna mempercepat pembangunan secara efisien di Tanah Papua, namun dalih tersebut dirundung oleh skeptisisme. Pakar UNIPA Dr. Agus Sumule mengatakan bahwa tidak ada relevansinya pemekaran DOB dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua, dan rencana ini diformulasi dengan tergesa-gesa.

“Apalagi wilayah-wilayah yang akan dimekarkan itu masih memiliki Indeks Pembangunan Manusia yang rendah. Pemekaran yang meningkatkan kesejahteraan harus disertai dengan dana yang sangat besar, masalahnya ini uangnya dari mana? Seharusnya pemekaran ini ditunda, dan pemerintah fokus pada perbaikan tata kelola pemerintah daerah dan meningkatkan akses OAP pada pendidikan yang berkualitas,” ujar Agus yang menjadi narasumber pertama.

Narasumber kedua adalah Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Benny Sweny. Ia mengatakan bahwa rencana pemekaran DOB ini dilakukan dengan minim pertimbangan aspirasi dari OAP. MRP menurut UU Otsus merupakan lembaga penyalur aspirasi terkait hak-hak OAP, sehingga pelibatannya dalam urusan pemekaran wilayah itu merupakan suatu kewajiban. Namun pasca revisi UU Otsus tahun lalu, pemekaran wilayah dapat langsung dilakukan tanpa pelibatan MRP.

“MRP menerima banyak sekali aspirasi grassroot terkait penolakan DOB. Tetapi Menkopolhukam RI mengatakan bahwa 82% rakyat Papua setuju terkait rencana DOB. Ini survei dari mana, kapan dilaksanakan, siapa yang melaksanakan, tidak ada transparansinya. Patut dipertanyakan bahwa rencana pemekaran ini untuk siapa, dan dasarnya untuk apa. Apakah untuk kesejahteraan masyarakat Papua, atau untuk kepentingan elit-elit saja? Jangan sampai rencana pemekaran ini hanya untuk mempraktikkan model divide and rule di Tanah Papua,” ujar representatif itu.

Lanskap ini semakin menegaskan tebalnya kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua, menurut Saskia Raisa Putri. Narasumber ketiga itu mengatakan bahwa banyak sekali kehadiran pemerintah Indonesia di sana selalu dilindungi dengan pendekatan militeristik, pembunuhan di luar hukum oleh aparat negara (unlawful killing), pembatasan ruang publik, pembatasan akses internet, hingga pengungsian. Hal ini tentu dilatarbelakangi oleh konflik separatisme yang telah hadir di Tanah Papua selama lebih dari separuh abad.

“OAP disini masih sering dilanggar hak-haknya, dan partisipasi mereka dalam kebijakan pemerintah seringkali diabaikan. Padahal, itu adalah hak asasi mereka. Ambil contoh adalah dalam rencana pertambangan emas di Blok Wabu, Intan Jaya. Rencana tersebut sudah berjalan, padahal penduduk lokal disana tidak dimintai persetujuan yang selaras dengan prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent). Pola-pola ini terulang dalam rencana pemekaran DOB,” tekan perwakilan dari Amnesty International Indonesia itu.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan