Universitas Airlangga Official Website

Merayakan Kemerdekaan Jangan Lupa Jasa Pahlawan

Menjelang Hari Kemerdekaan RI ke-78 marilah kita melakukan refleksi diri perjalanan bangsa Indonesia. Usia 78 tahun bagi suatu bangsa adalah usia yang matang untuk menjadi bangsa yang besar. Sebagai bangsa yang besar tentu kematangan kejiwaan masing-masing penduduk merupakan hal yang penting.

Di beberapa negara, rakyatnya ada yang merayakan hari kemerdekaan dengan penuh suka cita. Misalkan di Amerika Serikat dengan perayaan kembang api di negara-negara bagiannya. Sementara di Rusia, Cina, dan Korea Utara merayakan hari penting nasional dengan parade militer besar-besaran menampilkan ribuan pasukan dan senjata-senjata canggih seperi peluru kendali nuklir antar benua.

Di Rusia lebih nampak merayakan hari kemenangan melawan Nazi Jerman pada Perang Dunia II lebih terasa nuansa nasionalismenya karena di samping parade militer tadi, banyak diskusi, pertemuan dengan para veteran di gedung-gedung maupun di TV yang menampilkan veteran perang yang bercerita tentang pejuangan mereka.

Film-film dokumenter perang melawan Nazi itu selalu diputar dengan latar belakang lagu-lagu perjuangan. Rusia memang merasakan penderitaan yang paling sedih dalam perang dunia II. Sebab, jumlah korbannya lebih banyak dari negara-negara Barat yang terlibat dalam perang itu, yaitu antara 27 sampai 36 juta jiwa gugur.

Perayaan di Indonesia

Di negeri kita, di samping ada acara apel penyambutan hari kemerdekaan baik di Istana negara maupun di seluruh kabupaten kota, sekolah, perguruan tinggi, masyarakat RT dan RW, juga merayakan dengan penuh suka cita. Misalnya menampilkan berbagai lomba tradisional, budaya, seni, musik, dan sebagainya. Namun ada baiknya, perayaan yang bersifat suka cita kegembiraan itu sebagai bangsa kita tidak melupakan jasa dan penderitaan para pahlawan. Dijajah Belanda selama 350 tahun, Inggris 5 tahun, Portugis 5 tahun, Jepang 3,5 tahun merupakan penderitaan yang menyedihkan karena bangsa ini dilecehkan, dihina, sumber daya alamnya dirampok, penduduk pribumi tidak boleh mengenyam pendidikan. Karena itu hampir semua raja dan sultan di berbagai daerah bergejolak melakukan perlawanan terhadap penjajah.

Sebelum tahun 1945, berbagai tokoh agama, organisasi kemasyarakatan dalam masa penjajahan itu sudah mengumandangkan keinginan untuk merdeka dari penjajah. Penulis merasa bahagia dan bangga ketika almarhum abah saya KH. Hamzah (wafat tahun 1956) meninggalkan sebuah buku yang lusuh tapi sangat bersejarah. Yaitu, buku catatan perjalanan Dr R Soetomo ke beberapa negara seperti Belanda, Ceylon (Sri Lanka), Turki, Mesir, Jepang, Inggris dan sebagainya pada tahun 1936. Buku berjudul POESPITA MANTJA NAGARA yang diterbitkan Poestaka Nasional Soerabaja (ejaan lama) pada tahun 1937 dan dalam bahasa Jawa, mengisahkan perjalanan pahlawan nasional melihat kemajuan dan bertemu dengan tokoh-tokoh penting di negara-negara tersebut.

Semangat Bung Tomo

Kisah beliau dalam buku itu sangat mengharukan bagi penulis (atau siapapun yang membacanya). Sebab, meskipun ke luar negeri, beliau selalu bangga sebagai bangsa Indonesia. Selalu berpikir positif akan negerinya sendiri yang tercinta. Bahkan, menolak anggapan bangsa asing bahwa jelek bagi orang Indonesia makan nasi. Beliau menolak anggapan itu bahwa nasi itu lebih sehat bagi bangsa Indonesia. Mengharukan juga karena Dr Soetomo di Afrika Selatan dan Ceylon (Sri Lanka) bertemu dengan bangsa Indonesia yang dibuang oleh penjajah Belanda.

Beliau mencatat misalnya pada tahun 1706 Soesoehoenan Mangkoerat Mas, ratu ing tanah Djawa (raja di Jawa) dibuang Belanda di Ceylon, tahun 1723 “Sawijineng princes panggedening kaoem pemberontak ing Betawi lan 40 wong kaoeme, dening pemerintah Walanda diboeang ing Ceylon.” Yang artinya, salah satu ratu tokoh kaum pemberontak di Betawi/Jakarta dan 40 orang pengikutnya dibuang pemerintah Belanda di Ceylon.

Meskipun waktu itu belum ada perkiraan kapan Indonesia merdeka dari penjajah, tapi angan-angan dan semangat bangsa Indonesia terbentuk sejak dulu untuk merdeka mandiri dan memiliki harga diri yang tinggi dari bangsa penjajah. Misalnya kisah beliau ketika tiba di Mesir pada tanggal 16 Agustus 1936. Beliau menceritakan tentang begitu bahagia dan semangatnya pada mahasiswa Indonesia yang ada di Mesir kala itu menyambut Dr Soetomo.

Beliau menulis, “Para stoedent bangsa kita dhewe, ora karoewan boengahing atine. Kebeneran banget dene ing mangsa ikoe dinna wajahe arep nandha tangani perdjandjian kamardikaane Mesir. Moela aja ora eram jen kang padha mapag akoe ikoe. Padha kebak semangat kamardikan, ambal-ambalan para moeda maoe padha mbengok ‘Hidoep Pak Tom’, ‘Hidoep Indonesia Merdeka’.

Singkatnya, itu menceritakan para mahasiswa Indonesia di Mesir ketika menjemput Dr Soetomo meneriakkan kata-kata ‘MERDEKA’. Semoga semangat para pahlawan di Hari Kemerdekaan  ini masih menggelora di hati kita masing-masing. Terutama anak-anak muda dengan mengenang jasa dan perjuangan berbagai pahlawan di Nusantara. (*)