Universitas Airlangga Official Website

Mudik Budaya Unik Indonesia

Mudik atau pulang kampung menjelang lebaran 2023 nampaknya akan mengalami kenaikan yang signifikan dipandang dari segi jumlah orang yang mudik. Maklum, pada saat adanya pandemi Covid-19 masyarakat tidak diperbolehkan pulang kampung oleh pemerintah. Setelah dua tahun pandemi itu, pemerintah akhirnya memberikan lampu hijau kepada warga pendatang untuk kembali ke kampung halaman.

Berdasarkan data Kementerian Perhubungan (Kemenhub), jumlah pemudik Lebaran 2022 mencapai 85 juta orang dan 14 juta di antaranya berasal dari pemudik Jabodetabek. Dari jumlah tersebut, sekitar 2,1 juta kendaraan meninggalkan Jabodetabek pada mudik Lebaran 2022. Angka ini disebut rekor tertinggi dibandingkan periode lebaran dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.

Pecah rekor tampaknya akan kembali ada mudik Lebaran 2023. Pasalnya, pemerintah memprediksi jumlah pemudik yang berlalu lalang pada lebaran Idulfitri 1444 H/2023 M mencapai 123 juta orang. Jumlah itu meningkat 14,2 persen jika dibandingkan dengan prediksi pergerakan masyarakat di masa lebaran tahun 2022 lalu yang mencapai 85,5 juta orang.

Kalau dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, nampak adanya peningkatan yang sangat tajam jumlah orang yang mudik. Data dari Kementrian Perhubungan tahun 2012 misalnya, ada sejumlah 22 juta orang mudik. Tahun 2013 ada 23 orang. Tahun 2015 dan 2016 masing-masing sekitar 25 juta orang lebih.

Mudik mengacu pada eksodus mudik massal tahunan sekitar waktu Idulfitri. Mayoritas orang Indonesia adalah muslim dan dengan demikian merayakan Idulfitri. Cara paling populer untuk merayakan Idulfitri adalah dengan berkumpul bersama keluarga besar dan melakukan ritual keagamaan bersama, biasanya di kampung halaman keluarga.

Tradisi Mudik

Ahli sejarah ada yang menyatakan mudik sudah ada sejak masa Kerajaan Majapahit Kuno dan Kerajaan Mataram Islam, seperti dilansir kompas.com. Pada puncak pemerintahan Majapahit pada abad ke-14, banyak pejabatnya dikirim ke daerah lain dan pada suatu waktu mereka harus kembali untuk bertemu dengan raja.

Berbeda dengan Kerajaan Mataram Islam, Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha dan karena itu tidak merayakan Idulfitri, tetapi eksodus itu tetap dikaitkan dengan mudik. Namun, istilah mudik baru populer pada tahun 1970-an. Istilah ini mungkin berasal dari frasa Jawa mulih disik, yang berarti pulang sebentar setelah bermigrasi ke suatu tempat.

Di beberapa negara ada juga budaya seperti mudik. Dimana warga pulang kampung menjelang hari-hari libur nasional, misalnya di Mesir, Cina, India, Bangladesh, Pakistan, dan Malaysia. Kita menyaksikan jutaan orang di Bangladesh misalkan berjejal-jejal naik kereta api sampai ada yang duduk di atas atap kereta api agar bisa pulang kampung. Hal itu menunjukkan betapa pentingnya budaya pulang kampung.

Di Indonesia, jutaan orang yang pulang kampung itu tidak semuanya orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang mampu naik moda transportasi udara, kapal, atau mobil. Namun bagi keluarga yang kurang mampu mereka menabung uang sebelum pulang kampung bahkan ada yang naik sepeda motor berboncengan dengan istri dan anak-anaknya ditambah dengan berbagai jenis bawaan atau oleh-oleh yang dimasukkan box karton. Agak miris bagi yang melihat pandangan itu karena mereka yang naik sepeda motor yang penuh dengan oleh-oleh itu ditempuh dalam jarak ratusan kilometer.

Kemajuan teknologi digital misalkan video call lewat HP saat ini tidak dapat menghalangi keinginan kuat masyarakat yang tinggal jauh dari kampung halamannya. Hal itu disebabkan antara lain mudik untuk bertemu orang tua, sanak saudara di kampung halaman memiliki nilai sakral. Di Jawa misalnya, ada budaya ‘sungkeman’ dimana orang-orang bersimpuh untuk minta maaf di depan orang yang lebih tua misalkan kedua orang tua. Budaya meminta maaf ini menjadi seperti festival kegembiraan karena disertai dengan kebiasaan memakai baju baru terutama anak-anak ketika bertemu orang tua dan sanak saudara serta makan makanan khas misalnya ketupat sayur dsb.

Saya mengalami pada tahun 1950-an budaya saling memaafkan itu – yang disebut ‘unjung-unjung’ bagi masyarakat Surabaya – berlangsung lebih dari satu minggu. Masyarakat berkunjung dari rumah-ke rumah di kampungnya atau daerah lain dimana sanak saudaranya berada. Bagi anak-anak kecil budaya ‘unjung-unjung’ itu merupakan momen yang bahagia karena seringkali mereka mendapatkan uang dari keluarga yang dikunjunginya.