UNAIR NEWS – Museum Etnografi dan Pusat Kajian Kematian FISIP UNAIR kembali aktif dan dibuka untuk umum setelah pandemi. Pembukaan museum itu ditandai dengan pameran eksklusif pada Kamis (29/09/2022) yang mengangkat tema Terakota.
Tema tersebut dibahas lantaran terakota merupakan salah satu benda yang berhubungan erat dengan beberapa upacara kematian di Indonesia. Selain itu, bentuk produk terakota yang berupa gerabah adalah benda yang cukup populer di zaman dulu dan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
“Museum Etnografi dan Pusat Kajian Kematian FISIP UNAIR merupakan salah satu museum yang mengangkat topik unik, yaitu tentang kematian manusia. Karena tanpa kita sadari kematian menjadi proses terakhir manusia yang juga memiliki budaya beragam khususnya di Nusantara,” jelas ketua museum Dr Phil Toetik Koesbardiati PhD.
Meraih penghargaan dari Indonesia Museum Awards 2018 kategori Museum Terunik dan menyisihkan 435 museum lainnya, museum di FISIP UNAIR itu menerapkan tiga asas penting museum. Yaitu pendidikan, rekreasi, dan penelitian. Secara lokasi yang berada di area kampus, museum juga memberikan sarana belajar bagi mahasiswa untuk mengamati koleksi-koleksi.
Museum Etnograsi FISIP UNAIR dilengkapi dengan tujuh ruangan sekaligus satu laboratorium. Pengunjung disuguhkan berbagai koleksi, baik dari luar negeri hingga dari beberapa daerah di Indonesia. Beragam koleksi sarat makna menarik minat pengunjung yang untuk mempelajarinya.
Tema Kematian
Mengambil tema kematian, Museum Etnografi FISIP UNAIR memajang model pemakaman di Nusantara, kisah kematian unik dari berbagai daerah, penjelasan tentang fenomena mati suri, hingga area model kematian yang tidak wajar.
Sebagai fungsi rekreasi, museum tersebut menawarkan suasana belajar yang menyenangkan. Karena pengunjung akan dibawa ke ruangan yang menyeramkan dengan didukung dekorasi dan sound effect.
Selain itu, museum juga memiliki peranan dan fungsi di bidang penelitian yang dilakukan oleh sivitas akademika UNAIR hingga dari universitas luar negeri, seperti New Zealand, Jepang, dan beberapa negara lain yang menghasilkan jurnal bertaraf internasional.
“Kami berharap setelah kembali aktifnya kegiatan pameran di museum ini, khususnya para pengunjung bisa memanfaatkannya kembali untuk berbagai hal positif. Terlebih mahasiswa bisa melakukan penelitian, diskusi, dan menggali pengetahuan terkait sejarah yang berhubungan dengan etnografi dan tradisi kematian di Nusantara,” ungkap Toetik. (*)
Penulis : Satriyani Dewi Astuti
Editor: Binti Q. Masruroh