Universitas Airlangga Official Website

MYMA FH UNAIR Selenggarakan Diskusi Reformasi Konstitusi

Pemaparan materi oleh Dri Utari, dosen FH UNAIR. (Foto: SS Zoom)
Pemaparan materi oleh Dri Utari, dosen FH UNAIR. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Seluruh negara di dunia memiliki konstitusi. Konstitusi merupakan hukum dasar tertinggi yang memuat hal-hal mengenai penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi seharusnya bersifat stabil namun dinamis dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Negara Indonesia sendiri memiliki konstitusi berupa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). UUD NRI 1945 telah mengalami amandemen sebanyak empat kali dalam sejarah. Amandemen ini dilakukan setelah terjadinya reformasi pada tahun 1998.

Badan Semi Otonom Masyarakat Yuris Muda Airlangga Fakultas Hukum Universitas Airlangga (MYMA FH UNAIR) menyelenggarakan diskusi hukum bertajuk Reformasi Konstitusi, Bentuk Kegagalan atau Perbaikan?. Diskusi secara daring pada Sabtu (23/9/2023) itu mengundang dosen hukum tata negara FH UNAIR, Dri Utari Christina Rachmawati SH LLM, yang juga merupakan pembina MYMA FH UNAIR.

Sebagai pendahuluan, Dri memaparkan bahwa tidak semua negara memiliki konstitusi tertulis. Akan tetapi, sambungnya, negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki konstitusi tertulis yang terkodifikasi berupa UUD NRI 1945.

“Konstitusi tidak tertulis dapat berupa adat istiadat atau konvensi. Konvensi ini berupa kebiasaan ketatanegaraan,” jelas Dri.

Mengatur Lembaga Negara

Selain mengatur mengenai penyelenggaraan suatu negara, lanjutnya, konstitusi juga mengatur tentang lembaga-lembaga negara dan hubungan antara lembaga negara dengan warga negara.

Menurut Dri, berdasarkan sistem pemerintahan di Indonesia yang menganut sistem presidensial murni, pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 sudah tepat untuk Indonesia.

“Kalau memang dimungkinkan untuk mengamandemen UUD NRI 1945 lagi, mungkin bisa yang terkait dengan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah,” ujarnya.

Ia juga menyoroti terkait reformasi konstitusi Indonesia akibat dinamika dalam masyarakat. Ia menegaskan bahwa perubahan ini sebenarnya bukan merupakan hal yang tabu. Ir Soekarno sendiri, ucapnya, pernah mengatakan bahwa pembentukan UUD NRI 1945 pada awalnya dengan tergesa-gesa.

“Dalam waktu yang tidak terlalu lama tapi sudah cukup banyak hal yang bisa dimasukkan dalam UUD, itu patut diapresiasi. Tetapi para pendahulu kita sudah memberikan clue bahwa ini dapat diamandemen,” tuturnya.

Ia menyebutkan di Indonesia yang sempat berganti menjadi Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara.

“Menurut saya, perubahan utamanya pada tahun 1999 setelah reformasi 1998 itu bukan merupakan bentuk kegagalan, tetapi mengembalikan fungsi-fungsi parlemen agar lebih sesuai. Terutama terkait mekanisme pemakzulan yang mendasarkan pada delik-delik pidana,” ujarnya.

Sebagai penutup, Dri menyampaikan para mahasiswa tidak perlu takut untuk bersuara apabila merasa ada yang salah terhadap penyelenggaraan negara. Kendati begitu, ia mengingatkan untuk tidak bertindak anarkis. “Mengemukakan pendapat itu harus sopan dan ada dasar hukumnya,” tukasnya. (*)

Penulis : Dewi Yugi Arti

Editor : Binti Q. Masruroh