Kebanyakan ilmu manajemen yang diajarkan ke mahasiswa adalah ilmu berdasarkan banyak textbook atau pengalaman versi barat, Amerika Serikat, Inggris, dan lain sebagainya. Jarang sekali diajarkan atau dikenalkan tentang sistim manajemen dari Jepang, sebuah sistim yang berakar dari budaya negeri sakura ini.
Saya kebetulan pernah ke Jepang tahun 1982 dan 1985 dan pernah bekerja di Bank of Tokyo. Saya sering berdiskusi tentang sistim manajemen dan budaya Jepang dengan tokoh-tokoh yang mengenal Jepang karena pernah studi di sana. Misalnya Prof Ir Achmad Jazidie guru besar ITS dan Rektor UNUSA Surabaya, Prof Nidom dari FKH UNAIR, dan kedua keponakan saya yang lulusan dari Hiroshima University, Prof Jazidie dan angkatan satu tahun di atas saya di UNAIR yaitu Prof Seno Pradopo yang juga alumni Hiroshima University.
Di budaya Jepang ada istilah Nemawashi yang bermakna persiapan, pra kondisi, atau langkah awal. Secara harfiah, Nemawashi ini adalah pekerjaan menggali tanah di sekitar pohon yang akan dipindah dengan hati-hati agar akar pohon tidak rusak. Pohon beserta akarnya ini lalu dibungkus ijuk dan ditanam di tempat lain. Namun, kata Nemawashi itu juga diterapkan dalam sistim manajemen Jepang yang bermakna pekerjaan pendhuluan guna memperoleh dukungan rekan kerja dan pimpinan sebelum sebuah usulan bisa dilaksanakan. Umumnya, sebuah proposal itu ditolak karena berbagai macam alasan, misalnya karena jeleknya komunikasi yang dibangun atau proposal itu terlalu besar sehingga sulit dilaksanakan mengingat terbatasnya anggaran atau SDM dan sebagainya.
Nemawashi sebagai salah satu unsur penting dalam manajemen Jepang itu akan lebih efektif bila disertai dengan unsur lainnya yaitu sistim Ringi. Ringi-Sho merupakan sebuah memo intern yang diedarkan ke rekan kerja dan pimpinan untuk memperoleh dukungan dari pihak-pihak terkait. Misalkan universitas akan membeli peralatan penting untuk sebuah laboratorium penelitian, maka siapapun yang menyetujui proposal itu membubuhkan hanko atau stempel pribadi yang berfungsi sebagai paraf persetujuan. Ringi-Sho ini bisa digunakan untuk level horizontal, misalkan antar manajer, dan juga vertikal bila suatu proposal harus mendapatkan persetujuan pimpinan tingkat atas.
Ketika saya bekerja di Bank of Tokyo, saya dan setiap kolega yang satu level tingkatannya memiliki hanko atau stempel pribadi yang ada nama saya. Jadi misalkan saya mengajukan memo tentang perlunya kunjungan perusahaan atau company visit ke sebuah perusahaan calon nasabah, saya membuat memo yang berisi alasan perlunya company visit itu bagi bank, lalu saya membubuhkan stempel pribadi saya itu di bawah memo “cholis” nama saya dengan tinta warna biru. Kemudian, memo itu beredar ke bagian lain yang kemudian juga dibubuhkan masing-masing stempel pribadi warna biru bagi yang menyetujui memo saya, dan terakhir pimpinan membubuhkan stempel pribadi berwarna merah. Jadinya sebuah memo itu seperti baju pria warna putih yang banyak dipenuhi bekas lipstik dari bibir beberapa wanita.
Kedua sistim dalam manajemen Jepang itu merupakan bentuk komunikasi yang efektif serta tidak menyinggung perasaan semua orang yang terlibat karena mereka semuanya membubuhkan persetujuannya berupa hanko. Tidak ada pihak yang merasa dilangkahi. Selain itu, kedua unsur penting dalam manajemen Jepang itu menghindari orang yang ‘lari dari tanggung jawab’. Sering terjadi kalau ada suatu masalah yang pelik di dalam perusahaan apalagi masalah itu menyangkut prsoalan hukum, maka ada saja orang yang cul tangan – bahasa Surabaya yang berarti tidak mau bertanggung jawab dengan mengatakan ‘saya tidak tahu’, ‘saya tidak ikut rapat’, ‘saya tidak diberi tahu’, dan lain sebagainya.
Yang penting diketahui sistim manajemen Jepang itu banyak diambil dari nilai-nilai budaya bangsanya sendiri.