Universitas Airlangga Official Website

Pahami Gejala serta Penanganan Kondisi Frozen Shoulder

Teddy Heri Wardhana dr SpOT(K) pada gelaran Dokter UNAIR TV bertajuk “Kaku pada Bahu? Mengenal Lebih dalam Frozen Shoulder,” Jumat (20/1/2022). (Sumber foto: Dokter UNAIR TV)

UNAIR NEWSFrozen shoulder atau kaku pada bahu merupakan kondisi yang tidak jarang kita alami. Orang yang mengalami kondisi ini akan merasakan kaku dan nyeri pada area bahu yang diakibatkan karena elastisitas sendi bahu yang berkurang.

Sebagian besar masyarakat mengait-ngaitkan kondisi frozen shoulder ini dengan kelelahan akibat kerja, keseleo, atau adanya penyakit seperti rematik dan asam urat. Namun, hal ini tidak sepenuhnya benar. Menurut dosen Fakultas Kedokteran (FK) UNAIR, Teddy Heri Wardhana dr SpOT(K), kondisi frozen shoulder sendiridapat dikategorikan menjadi dua, yakni frozen shoulder primer dan frozen shoulder sekunder.

“Yang primer ini yang penyebabnya kadang-kadang tidak jelas. Jadi, tiba-tiba timbul rasa nyeri, kaku yang sampai progresif. Tapi ada juga yang sifatnya sekunder, yang dipengaruhi sebab lain, misalnya trauma,” tuturnya pada gelaran Dokter UNAIR TV bertajuk Kaku pada Bahu? Mengenal Lebih dalam Frozen Shoulder, Jumat (20/1/2022).

Rasa kaku pada bahu dapat dikatakan sebagai frozen shoulder jika terjadi lebih dari empat minggu. Setelah jangka waktu empat minggu, akan terjadi proses yang lebih permanen pada gejala-gejala yang dirasakan.

“Dikatakan frozen shoulder kalau sudah mengalami lebih dari empat minggu, ya. Jadi makin hari makin berat. Setelah empat minggu akan mulai proses yang lebih permanen,” terang dr Teddy.

“Semakin dia kaku maka orang akan semakin membatasi gerakannya sehingga kekakuan itu akan lebih dominan. Bahkan, pada stadium berat biasanya disertai gangguan dari otot-otot yang ada di sekitarnya,” tutur pengajar di Departemen Orthopaedi dan Traumatologi UNAIR itu.

Prevalensi frozen shoulder cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada orang berusia di atas 40 tahun, prevalensi timbul kondisi ini sebesar 30 persen. Angka ini terus meningkat pada populasi berusia lanjut yang biasanya juga diikuti oleh kondisi robekan pada tendon.

Meskipun frozen shoulder cenderung tidak berbahaya, dalam artian tidak sampai menimbulkan kondisi kelumpuhan, namun dr Teddy menghimbau agar kita tidak menyepelekan kondisi ini.

“Biasanya orang keluhannya gangguan dari aktivitas sehari-hari, aktivitasnya menjadi lebih terbatas, sering juga gangguan tidur. Tentu saja ini bukan hal yang sepele. Pekerjaan jadi tidak selesai karena aktivitas terganggu,” tegasnya.

Pada penderita frozen shoulder, dokter biasanya akan memberikan tindakan konsultatif berupa pemberian resep obat-obatan anti radang. Setelah rasa nyeri berkurang, penderita dapat melakukan kegiatan stretching secara mandiri pada anggota gerak yang mengalami kekakuan. Tindakan pembedahan biasanya menjadi opsi akhir apabila kondisi ini berada pada stadium lanjut.

Frozen shoulder ini dikatakan self-limiting crisis atau penyakit yang sembuh dengan sendirinya tapi butuh waktu yang cukup lama. Di literatur, disebutkan butuh waktu enam bulan sampai dua tahun baru jadi, memang harus telaten latihannya atau terapinya,” ujar dr Teddy.

Di akhir sesi, ia mengimbau agar penderita frozen shoulder melakukan konsultasi dengan dokter. “Ke dokter itu tujuannya sebetulnya adalah untuk membedakan atau memastikan apakah gangguan ini ada hubungannya dengan asam urat, kolesterol, atau rematik,” tutupnya. (*)

Penulis: Agnes Ikandani

Editor: Binti Q. Masruroh