Universitas Airlangga Official Website

Pakar Epidemiologi UNAIR Tekankan Peran Perguruan Tinggi dalam Eliminasi TBC

(Dari kanan) moderator Dr Arief Hargono drg Mkes menyapa narasumber Dr Santi Martini dr Mkes (Foto: SS Youtube).

UNAIR NEWS – Bakrie Center Foundation berkolaborasi dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR) menyelenggarakan webinar nasional bertajuk “Implementasi TOSS TBC dalam Berbagai Sektor sebagai Upaya Percepatan Eliminasi TBC” pada Senin (20/3/2023). Acara itu digelar untuk memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia setiap tanggal 24 Maret.

Pakar epidemiologi klinis UNAIR Dr Santi Martini dr Mkes hadir sebagai narasumber membahas peran perguruan tinggi untuk mempercepat eliminasi TBC di Indonesia. Ia mengacu Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan TBC yang mana salah satu dari enam poin menyebut perguruan tinggi memiliki andil dalam peningkatan penelitian, pengembangan, dan inovasi di bidang penanggulangan TBC.

Menurut dr Santi, upaya mewujudkan eliminasi TBC sesuai dengan implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi mencakup pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Pada bidang pendidikan, sambungnya, tema TBC menjadi kurikulum mata ajar dalam pendekatan berbagai ilmu seperti ilmu kesehatan masyarakat.

“Sebagai ahli kesmas (kesehatan masyarakat, red) kita sudah menentukan learning outcome atau kompetensi yang harus dimiliki dari produk pendidikan kesmas apakah itu di level sarjana, magister, dan doktor. Pola seperti ini tidak hanya untuk pendidikan kesmas, tapi juga pendidikan dokter dan lainnya,” tutur dekan FKM UNAIR itu.

Ia juga mendorong perguruan tinggi aktif melakukan penelitian tentang TBC. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa diseminasi dari hasil penelitian bisa dipaparkan kepada dinas kesehatan sebagai bahan masukan dalam penyusunan program penanggulangan tuberkulosis.

Selain itu, lanjutnya, hasil penelitian dapat menjadi tema pengabdian masyarakat. Kegiatan pengabdian itu, sambungnya, perlu melibatkan sivitas akademika, pemerintah tingkat kabupaten dan kota, serta organisasi masyarakat untuk memberikan edukasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan TBC.

“Pengabdian masyarakat yang based of evidence diperoleh dari hasil penelitian, kemudian dilakukan intervensi kepada masyarakat dan intervensi itu bisa diadopsi oleh para stakeholder. Penelitian pun demikian ada yang sifatnya dasar dan terapan,” tambahnya.

Sementara, jelasnya, tantangan menindaklanjuti permasalahan TBC menurut dr Santi yaitu penetapan key performance indicator peran perguruan tinggi dalam eliminasi TBC, penyusunan dan pengembangan kebijakan kesehatan masyarakat berbasis evidence. Tidak hanya itu, lanjutnya, diperlukan juga penguatan Sinergi Aksi Terpadu Eliminasi TBC dengan Perguruan Tinggi Wilayah Jatim (SATELIT PERTIWI) melalui implementasi TBC.

Sebagai informasi, Indonesia menempati peringkat kedua negara dengan kasus TBC terbanyak di dunia. Maka dari itu, dr Santi mengajak seluruh perguruan tinggi sebagai elemen masyarakat untuk berkontribusi menuntaskan penyakit menular tuberkulosis.

“Potensi perguruan tinggi di Indonesia ada sekitar tiga ribuan dan sepuluh persennya ada di Jawa Timur. Rasanya ini menjadi kekuatan yang besar apabila bisa dikolaborasikan seoptimal mungkin untuk mencapai eliminasi tuberkulosis di Indonesia tahun 2030,” pungkas dosen ilmu kesehatan masyarakat itu.

Penulis: Sela Septi Dwi Arista

Editor: Nuri Hermawan